Senin, 18 Mei 2009

Hanya Teri yang Tersisa

Ketika Bom meluluh lantakkan Kuta 12 Oktober 2004, masyarakat Bali hanya dapat merenungi nasib. Semuanya berserah kepada kemurahan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena masyarakat Bali percaya bencana ini terjadi juga seijinNya. Menyikapi bencana Bom, sepinya turist dan proses penangkapan terrorist , semuanya berserah ke atas. Segala bentuk upacara dilakukan sebagai permohonan maaf atas segala kekhilafan dan mohon jalan yang terang.

Perilaku masyarakat Bali saat itu dikagumi masyarakat dunia. Simpati dan pujian berdatangan, walaupun bantuan itu banyak juga yang tercecer oleh segelintir orang, biarlah dia yang menerima karmanya. Masyarakat Bali ikhlas. Rasa itu membuat turis tetap mengunjungi Bali, sehingga tahun ini Bali sudah menerima kedatangan turis yang lebih baik jumlahnya kalau dibandingkan dengan masa sebelum Bom.

Turis datang, dolar bergelimang. Demikian seharusnya yang terjadi, namun banyak pedagang souvenir atau pelaku bisnis pariwisata lokal yang mengeluh tentang sepinya bisnis pariwisata Bali. “Sepi,Pak !” demikian ujar seorang pedagang di daerah Tanah Lot dan juga komentar sopir travel, ketika ditanyakan keadaan tamu yang berbelanja.

“Mungkin sampai dua puluh tahun lagi Bali tidak kehabisan kamar hotel” ujar seorang pegawai travel di Denpasar. “Bali sudah sesak dengan pembangunan hotel, restaurant dan juga villa yang sangat menjamur. Pemilik semua usaha yang ada di Bali ini hampir 80 % adalah milik pemodal luar” Lalu apa yang tersisa untuk orang Bali ? Hotel-hotel juga mulai pintar untuk membuat tamu mereka betah tinggal di dalam lingkungan hotel dan menghabiskan uang mereka di hotel. Semua sarana dan prasarana ada di dalam Hotel atau paling tidak dapat dilakukan dari dalam hotel, sehingga tamu tidak lagi perlu keluar. Tidak hanya itu, jasa pembantu yang siap melayani tamu selama mereka libur, juga sudah tersedia. Meliputi pembersihan kamar, mencuci pakaian, berbelanja ke supermarket dan membuat makanan sesuai yang diinginkan selama tamu itu berlibur di Bali.

“Orang Bali itu rendah daya juang atau niat untuk berkompetisi, mereka cepat merasa cukup” ujar seorang teman di suatu kesempatan. Hal ini mungkin ada benarnya, karena sampai sekarang orang Bali yang mencapai tingkat GM (General Manager) di hotel bintang lima atau level atas pelaku bisnis besar di Bali jumlahnya masih dapat dihitung jari tangan. Orang Bali masih senang duduk berlama-lama sebagai Bell Boy, karena pekerjaannya mudah dan dapat komisi, apalagi kalau punya rent car, rasanya sudah cukup dan tidak perlu berjuang untuk jabatan atau karier yang lebih tinggi. Jabatan tinggi, hasil juga besar . Posisi atas yang masih lowong ini tentu akan diisi oleh mereka yang datang dari luar Bali.

“Susah untuk berkompetisi, karena tidak ada kesempatan” ujar Made Wijaya seorang tour operator. , Made memberikan sebuah ilustrasi, pernah mendengar bisnis tukar kepala? Hal ini terjadi pada tamu Taiwan. Mereka datang berombongan, biasanya para guide taiwan membeli tamunya dari travel agent berdasarkan jumlah kepala. Tentu saja guide juga tidak mau rugi, guide akan menarik untung sebanyak-banyaknya, mulai dari harga kamar yang sangat murah, guide akan meminta mereka untuk menukarkan uang mereka di atas bus, makan akan di ajak di restaurant yang memberikan banyak komisi, guide akan menjual souvenir di atas bus, semua dilakukan oleh guide mereka. Tamu Taiwan sangat patuh kepada pemimpin mereka. Sampai bayar karcis atau sewa selendang guidenya terkadang pura-pura berpakaian dan bersikap seperti tamunya, sehingga bisa gratis.Terkadang mereka harus berbelanja di super market, hanya untuk mengganti minuman kaleng yang semalam di minum di hotel. Ada lagi cerita miring yang mengatakan bahwa ada guide yang menyelenggarakan tari telanjang dengan menggunakan kamar hotel dan para tamu yang berminat dikenakan pungutan. Katakan kalau tamunya tidak puas atau berkesan jelek terhadap Bali, itu bukanlah urusan mereka karena mereka bukan orang Bali. Ada sisi negatif tentu ada positipnya, paling tidak dapat jumlah angka turis ke Bali menjadi bertambah.

Hal yang serupa terjadi pada turis Jepang, pelaku utamanya adalah agen perjalanan raksasa Jepang yang beroperasi di Bali ada juga orang jepang yang tinggal di Bali atau yang kawin dengan orang Bali. Mereka bertindak sebagai travel agent dan menjualnya melalui internet. Demikian pula dengan bule-bule yang datang dan tinggal di Bali, mereka datang dengan visa turis, namun melakukan bisnis besar di Bali. . Bisnis seperti ini memang susah untuk dikontrol akibat permainan petugas yang berwenang dan tidak ada yang mau mengontrolnya. namun untuk jangka panjang yang sangat dirugikan adalah masyarakat Bali itu sendiri. Mungkin dalam jangka waktu yang tidak lama lagi jumlah turis sudah sangat berkurang, karena Bali memang sudah tidak menarik untuk dikunjungi atau sudah tidak layak lagi sebagai daerah tujuan wisata.

“Kalau tangkapan mau baik, tentu umpannya juga baik. Ingin menangkap bule, pakailah bule. Kalau ingin menangkap Jepang ya pakailah Jepang” begitu ujar seorang teman bisnis di Kuta. Secara bisnis hal seperti ini sangat baik dan nyata hasilnya, tetapi secara moral, apakah wajar orang Bali yang memiliki dan menjaga Bali hanya dapat ampasnya saja? Sementara orang lain hanya kencing saja di pulau tercinta ini. (Kapten/2005).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar