Minggu, 14 Juni 2009

Guide Liar

Guide liar selalu dipersoalkan, namun kenyataannya di lapangan tidak ada perbedaan bagi mereka yang resmi ataupun liar, semua sama, semua bertujuan untuk mendapatkan satu hal yakni komisi
____________________________________________________

Pemandu wisata (Guide) sangat penting peranannya dalam perkembangan pariwisata di Bali. Pemda Bali telah berusaha memberikan rambu – rambu agar pemandu wisata dapat tertib dan qualified dalam memberikan informasi kepada wisatawan. Dapat memberikan informasi yang benar tentang Bali dan dapat berperan aktip untuk menjaga dunia pariwisata Bali.
Pada awalnya Pemda Bali telah membentuk organisasi pemandu wisata, yakni Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI), melalui organisasi ini diberikan penataran dan pembinaan, serta diberikan kartu tanda anggota sebagai bukti telah lulus segala pesyaratan sebagai pemandu wisata. Sweeping sering diadakan di daerah tujuan wisata, namun terakhir ini peranan organisasi dan sweeping untuk pemandu liar sudah tidak pernah terdengar lagi. “Punya atau tidak kartu guide, sama saja” Ujar Nyoman Antara, seorang pemandu wisata yang tergolong senior. Dia juga mengatakan kalau organisasi pramuwisata tidak banyak berperan, malah ricuh akibat keserakahan pengurusnya. “UUD, Ujung-Ujungnya Duit, untuk apa lagi banyak berteori” Kilah Nyoman Antara.
Memang kenyataannya pemandu liar yang tertangkap, hanya dikenakan denda uang dan kemudian mereka beroperasi kembali. Konon Sweeping tidak dapat dilakukan secara berkelanjutan, sebab membutuhkan biaya besar, jadi yang liar atau yang resmi tidak ada bedanya, semua berebut mencari hidup. Perjuangan yang ada adalah perjuangan untuk mendapatkan tamu, kemudian menawarkan mereka segala fasilitas wisata dan berharap mendapatkan komisi yang besar. Sebagai pemandu wisata komisi itulah yang abadi, entah didapatkan dengan tanda liar ataupun resmi, yang pasti uang tamu harus di kuras habis.
Menurut pengakuan Nyoman Antara, banyak pemandu wisata travel besar yang tidak tahu tentang budaya Bali, namun mereka memiliki kartu guiding. Sebagai contoh, Lihat saja seberapa banyak pemandu wisata turis Taiwan yang tahu Bali? Seberapa besar sih kepedulian mereka terhadap pariwisata Bali? Berbahasa Indonesia saja tidak becus, apalagi kalau mereka berpakaian adat, kadang terlihat lucu. Namun tidak ada koreksi ataupun teguran untuk mereka dari instansi terkait. Belum lagi pemandu wisata yang mendapatkan tamu di jalanan atau di pantai, Dari segi penampilan sudah sangat tidak mencerminkan Bali, kita mau bilang apa? Apalah artinya sebuah kartu pemandu wisata yang terpajang di dada, kalau tanpa itupun dapat menjalankan bisnis dengan tenang.
Sekarang banyak juga pemandu wisata yang dilakukan oleh tenaga asing yang tinggal di Bali dengan visa turis. Artinya berdasarkan hukum yang berlaku, mereka tidak dibenarkan melakukan aktivitas bisnis. Kenyataannya mereka tetap menggaruk dollar di Bali, menggaruk porsi makan orang Bali. Alasan mereka adalah menghantarkan teman atau kerabat mereka, sebanarnya mereka mendapatkan tamu berdasarkan iklan mereka di internet atau website, lalu mereka melayani bagaikan sebuah travel agent. Kalau keadaan pariwisata Bali terus seperti ini, siapakah yang masih perduli? Kilah Nyoman Antara.
Toleransi orang Bali untuk menerima mereka yang berasal dari luar Bali sebagai pemandu wisata, sudah sangat tinggi. Kalau dapat diberikan istilah, bagaikan makanan yang ada di piring mereka di cokot, orang Bali diam saja. Namanya juga sama-sama cari makan. Kalau kaidah mencari makan sama-sama dihormati, tentu akan baik dan berjangka panjang. Namun suatu saat mungkin piring nasinya di balik alias pariwisata Bali hancur, apakah orang Bali masih tetap tidak perduli? Apakah tidak ada yang berpikir sejauh itu?
Orang Bali sebagai pemandu wisata, walaupun mereka yang tahu betul dengan adat istiadat dan pemilik pulau ini, namun sekarang sudah mulai tersisih. Semakin terbukanya keran pariwisata Bali, semakin beragamnya turis yang datang, semakin tersisih orang Bali. Ironis memang, namun orang Bali sendiri tidak mau meningkatkan kemampuan mereka. Kalau dilihat rata-rata pemandu wisata asli Bali hanya mampu berbahasa Inggris, sebagian sudah merambah bahasa Jepang. Ternyata banyak turis dari Taiwan, Rusia, Cekosloakia dan beberapa negara Eropa yang hanya mengerti bahasa mereka sendiri, apalagi nantinya akan banyak turis Cina yang hadir di Bali. Bagaimana dapat mengharapkan guide resmi orang Bali untuk mengambil peran atau ikut kebagian rejeki?
Orang Bali mau protes? Boleh saja. Yang pasti persaingan bisnis sudah berlangsung, yang kurang profesional akan tersisih. Pemandu wisata Bali katakanlah yang resmi, tentu tidak boleh terus berlindung di ketiak Pemda Bali. Mereka harus bangkit meningkatkan diri atau sumber daya mereka disesuaikan dengan permintaan pasar, sebab persaingan semakin ketat. Katakanlah sebagai contoh, seorang turis selama di Bali dilayani oleh seorang pemandu wisata liar asal Jawa, yang kebetulan bertemu di pantai Kuta. Ternyata sang turis sangat senang, banyak berbelanja dan mengirimkan uang untuk keluarganya pemandu wisata liar itu. Setahun kemudian turis kembali ke Bali dan memesan barang kerajinan untuk hotelnya yang sedang di bangun dan memesan banyak ukiran Jepara untuk bisnisnya. Apakah artinya ilustrasi itu? Artinya orang Bali telah kehilangan peluang emas ! Apakah masih penting arti pemandu wisata resmi atau liar?, Demikian Nyoman Antara terenyuh. (TAKSU/Gung).

Selasa, 26 Mei 2009

Potongan Tulang Keluar Dari Tubuh Ibuku

Setiap orang kalau ditawarkan kesempatan akan cenderung untuk
mengambil kesempatan itu, tidak perduli sekecil apapun kesempatan itu. Apalagi
bagi mereka yang sedang susah atau menderita penyakit, jika ada yang menawarkan
akan kesembuhan atau dapat meringankan rasa sakit, pastilah tawaran itu akan
dicoba.

Ibuku memang sudah divonis dokter sakit kanker dan hidupnya
paling lama akan bertahan selama enam bulan lagi. Kami awalnya sangat kaget
mendengar berita itu, karena ibuku selama ini terlihat sehat walafiat saja. Dia
adalah ibu yang hanya makan makanan yang ada di rumah dan beliau cukup selektip.
Namun kenyataannya divonis positip kanker ganas, artinya kemungkinannya sudah
menyebar ke seluruh tubuh. Awalnya aku tidak yakin, namun tidak beberapa lama
terlihat ada beberapa tonjolan yang mulai muncul dari tubuhnya dan secara
bersamaan kondisinya mulai menurun.

Seperti biasanya banyak orang
yang memberikan pendapat dan saran untuk berobat alternatif, lengkap dengan data
dukun atau paranormal dan pengalaman mereka atau kerabatnya yang telah
disembuhkan. Awalnya aku tidak terpengaruh dengan ide pengobatan alternatif,
namun banyaknya cerita orang yang konon dapat disembuhkan, kenapa aku tidak
mencobanya?

Aku akhirnya memutuskan untuk mencoba kepada salah satu
pengobatan tradisional. Rumahnya di Desa Blayu, Tabanan. Aku tertarik karena
konon salah satu Menteri yang masih menjabat saat itu, rutin berobat dan sembuh
dari penyakitnya. Akupun akhirnya hadir di sana untuk mengobati sakit ibuku.
Setelah sampai dirumahnya, tampak beberapa orang yang akan berobat menunggu
giliran mereka. Akupun semakin yakin dan percaya atas
kemampuannya.

“Jero Mangku, Ibu saya menderita kanker dan sudah
mulai tumbuh benjolan pada tubuhnya”. Kataku memberikan penjelasan dan
gambaran.
“Biar saya lihat dulu, sambil meneliti benjolan yang ada.”
“Ini
memang kanker dan sudah mulai menyebar ke seluruh tubuh”. Ujarnya
Kalem.
“Apakah penyakit seperti ini dapat diobati?” Tanyaku
mendesak.
“Biasanya bisa dan tidak masalah. Nanti saya mohonkan semoga atas
seijin Tuhan saya dapat menyembuhkannya”. Ujarnya dengan
tenang.

Sambil menunggu persiapan, akupun mengobrol untuk mengisi
suasana. Menurut pengakuan Jero Mangku, beliau memperoleh ilmunya dari ‘pica’
yang di atas. Banyak yang ingin belajar, baik dari dalam dan bule-bule luar
negeri. Termasuk yang rajin saat ini bule dari Inggris, seorang profesor
dinegaranya. Aku sedikit terkejut, seorang profesor? Apakah ilmunya begitu
hebatnya? Namun saat itu aku hanya mengangguk dan tampak
terkagum.

“Tolong tangan ibu di pegang, saya akan mengurut badan
ibu.” Ujar Jero Mangku.
Akupun memegang jemari ibuku.
“Nanti kalau di
badan ibu ada penyakit, maka akan ada yang keluar.” Lanjut Jero
Mangku.
“Apakah akan sakit?” Tanya Ibuku.
“Sedikit saja.” Ujar Jero Mangku
sambi bercanda.
“Apakah penyakitnya tidak nyerempet atau berpindah kebadan
saya?” Tanyaku menyakinkan, karena posisiku berada sangat dekat.
“Pastilah
tidak, karena semua ada dibawah kontrol saya.” Jero Mangku meyakinkan
saya.

Jero Mangku mengusap tangan ibuku dengan semacam minyak,
katakanlah minyak khusus buatan Jero Mangku. Tak beberapa lama ibuku mengaduh,
Jero Mangku tampak berkonsentrasi pada pijitannya. Tampak seperti ada benda
dibawah kulit ibuku, seperti benjolan kecil dan semakin digeser, semakin
membesar dan akhirnya kulitnya robek dan benda itu sudah diluar. Benda lalu
dicabut dan di taruh diatas piring. Bekas luka diusap dan tampak menutup kembali
tanpa ada darah yang menetes. Aku terpana.

Benda yang keluar dari
tubuh ibuku berupa potongan tulang, yang kedua ujungnya masih terlihat tajam
sepanjang 3 cm. Kalau dilihat ukuran besarnya setara dengan tulang paha ayam.
Aku tidak mampu berpikir, tulang apakah ini dan bagaimana bisa ada di dalam
tubuh dan bagaimana Jero Mangku dapat mengeluarkannya? Sebentarnya lagi tampak
Jero Mangku mengurut bagian yang lainnya yakni di leher dan keluar lagi tulang
yang serupa dengan ukuran yang lebih pendek. Begitu seterusnya hingga malam itu
keluar sebanyak delapan buah tulang dari delapan lokasi yang berbeda dan ibuku
tampak sangat kelelahan menahan sakit. Apakah memang ini sumber penyakitnya?
Kenapa bisa sebanyak itu? Dan kenapa hanya berbentuk tulang? tidak bentuk benda
lainnya? Bila perlu emas batangan, biar aku bisa jual untuk biaya pengobatan.
Aku tetap tidak percaya dengan apa yang aku lihat dengan mataku sediri, yang
hanya berjarak paling jauh 50 cm dari benda itu.

Aku cukup terkesan
dengan semua yang aku lihat. Aku juga tidak mengerti bagaimana caranya potongan
tulang dapat keluar dari tubuh ibuku. Yang lebih penting dan menjadi perhatianku
apakah ibuku menjadi sehat? Akupun terus memonitor dan menanyakan perkembangan
kondisi ibuku. Secara logika, kalau ada penyakit 10 tulang dan sudah dikeluarkan
8 tulang, secara bodoh dapat disimpulkan pasien akan sembuh atau menjadi semakin
baik, namun kenyataannya ibuku tidak merasakan perubahan yang berarti dan dua
hari kemudian kesehatannya malah drop. Akupun kembali membawanya ke rumah sakit.
Kebanyakan orang kalau bercerita tentang dirinya terlalu berlebihan dan beberapa
bulan kemudian sang Balian yang mengobati itu meninggal, demikian pula dengan
ibuku. (Kapten/2009)

Rabu, 20 Mei 2009

Bebotoh Dermawan

“Kalau boleh dihitung sudah puluhan milyar saya kalah di tajen” Demikian Turah Sudarsana mengawali ceritanya. “Saya kalah, namun saya bahagia”
Menurut ‘Turah” demikian dia sering disapa masyarakat, tajen adalah sebuah hiburan rakyat. Dalam tajen suasana kekeluargaan dan keakraban akan terasa sangat kental. Interaksi dengan masyarakat dapat dengan mudah dilakukan. “Saya datang ketajen, masyarakat pasti senang dan menyambut saya dengan antusias. Sebab kalau saya datang saya sering kalah” Ujarnya.

Dengan adanya tajen uang dapat berputar. Masyarakat kecil banyak dibantu dengan tajen. Mereka yang memiliki banyak uang dapat membagikan uang mereka kepada rakyat kecil melalui tajen. “Sebagai manusia kita jangan pelit, uang jangan disimpan terus di Bank untuk memperkaya diri sendiri. Kalau ada waktu berbaurlah dengan rakyat dan berderma” Jawab Turah yang sangat doyan dengan olah raga tinju.

Kenyataannya banyak pura dan banjar atau bangunan lainnya yang dibangun dengan hasil tajen. “Tajen di Bali adalah sebuah budaya yang harus kita pertahankan, warisan leluhur dan hiburan rakyat kecil” “Banyak rakyat di Bali yang menggantungkan kelangsungan hidup keluarga mereka dari tajen, kalau bisa tajen agar tetap eksis” Demikian Turah Sudarsana mengakhiri dengan senyum, karena malam semakin larut. (Kapten/2005).

Bebotoh Kalah

Hanya wajah lesu yang tampak saat seorang bebotoh (petaruh ayam) kalah. Tidak banyak kata yang di ucap akibat masih memikirkan kekalahan atupun jumlah kekalahan yang terkadang cukup besar. Sudah sering terdengar bahwa seseorang menggadaikan atau menjual barang mereka hanya untuk bertaruh. Sepeda motor, mobil, tanah ataupun rumah adalah hal mudah untuk berpindah. Ada ucapan orang di Bali yang sering mengatakan
“ Tanahnya sudah habis akibat di garuk ayam “.

Bebotoh yang kalah, walaupun sampai habis akan menerima kekalahan itu dengan jiwa besar. Kekalahan adalah suatu resiko dari suatu permainan. Sama halnya dengan pertandingan sepak bola, kalau tidak kalah adalah menang. Begitu pula dengan permainan tajen, ketika kalah tidak saja kehilangan ayam, namun kehilangan uang atau mungkin kehilangan segalanya. Bebotoh yang kalah dalam permainan tajen akan siap menerima akibat kekalahan, sebelum mereka berangkat ke tajen. Adalah sangat umum bebotoh menggunakan banyak kantong untuk menaruh uang mereka, sebagai alat kontrol sebelum mereka berangkat ke arena, seandainyapun kalah bebotoh yang kalah tidak akan melakukan hal yang bersifat kriminal. Mereka akan pasrah akan kekalahan, itulah etika bebotoh di Bali.

Ketika Kapolda Bali dan jajaran kepolisian membubarkan tajen, masyarakat masih menanggapinya dengan dingin, karena kenyataannya masih banyak tajen berlangsung dan masih banyak polisi yang minta cuk (sumbangan) ke arena tajen. Polisi lebih memperketat pelaksanaan pasal 303 tentang judi, bebotoh masih tersenyum, artinya semua bisa diatur, togel juga masih jalan. Namun ketika instruksi Kapolri yang baru dilantik turun, semua kegiatan judi menjadi tertib, termasuk judi di ruangan yang ber AC.

Bebotoh Bali mendatangi kantor wakil rakyat, menuntut diberikan kelonggaran pelaksanaan permainan rakyat yakni tajen. Ditiadakannya tajen membuat Bali terasa mati. Masyarakat kehilangan hiburan, kehilangan pekerjaan dan kehilangan perputaran uang. Dengan demikian tajen dipandang perlu untuk menumbuhkan gairah masyarakat, tajen perlu dihidupkan lagi demi budaya Bali. Tajen perlu di atur kembali, perlu dikemas agar sesuai dengan jaman sekarang, tanpa kehilangan faktor budaya dan rohnya. Bebotoh Bali menuntut kelonggaran artinya kalau kembali ditata dengan baik, tentu ada celah yang longgar untuk kebaikan bersama. “Kami hanya menuntut kelonggaran, bukan menuntut kemerdekaan “ Komentar Made Sirna. “ kalau wakil rakyat tidak memperjuangkannya, itupun sudah resiko, bebotoh kalah adalah biasa “. Ujar beberapa orang yang masih berharap tajen akan di gelar lagi di Bali. (Kapten/2005).

Budayakan Tajen

Ratusan orang bebotoh mendatangi kantor DPRD Tabanan untuk menyampaikan aspirasi mereka sambil mengusung sebuah sepanduk besar bertuliskan “ Ekonomi Masyarakat Kecil Mati Tanpa Tajen, Tajen Bukan Semata-mata Judi Tapi Bagian Dari Budaya Yang Perlu Dilestarikan Demi Ajeg Bali “. Ternyata Ajeg Bali tidak hanya berbusana adat saja, walaupun kadang tidak lengkap, tapi sudah menyentuh bagian terlarang di Republik ini dan sekarang hangat diberantas yakni judi.

Tajen adalah budaya, masyarakat di Bali sangat menyukai permainan ini. Permainan yang dianggap paling populer sejak ratusan tahun yang lalu dan melibatkan dan menguntungkan banyak orang , termasuk mendukung pembangunan dipedesaan.

Mulai pedagang ayam di pasar Satria dan Beringkit, setiap tengah malam dibanjiri ribuan ayam dari Jawa. Bebotoh sudah mulai memilih ayam yang baru turun dari mobil ada juga pedagang ayam memilih untuk di jual di arena tajen.

Arena tajen yang biasanya dipersiapkan oleh desa adat sudah memungut biaya sejak mengatur parkir, bebotoh memasuki arena biasanya terkena sumbangan sukarela (dana punia) di depan pintu masuk. Bagi bebotoh besar sudah disediakan kursi di barisan depan dan sewa kursipun harus di bayar, ketika pertarungan terjadi yang menang akan dipotong persenan sekitar 10 persen untuk petugas arena dan sebagian disumbangkan untuk sewa tempat judi. Banyak orang yang terlibat, banyak orang yang bekerja untuk pagelaran permainan tajen.

Setiap tajen pasti ramai oleh gerombolan orang yang sibuk bertaruh, di sekitar arena banyak terlihat pedagang nasi dan makanan ringan lainnya. Di dalam arena juga terlihat pedagang makanan dan minuman keliling menjajakan dagangan mereka, ketika ada break persiapan pertarungan ayam.

Suasana terlihat bahagia, bebotoh yang kalahpun tak menampakkan wajah kusut karena mereka menyadari itu adalah permainan. Kadang bisa menang dan kadang bisa kalah “ namanya juga permainan “ begitu yang sering mereka katakan. Bagi bebotoh yang menang biasanya terlihat berfoya bersama rekan mereka merayakan kemenangan hari itu, yang kalah penuh harap esok akan menang. Tajen adalah roda perputaran, semua pernah merasakan di atas ataupun di bawah. Itu yang membedakan tajen dengan togel, togel yang selalu menang dan kaya adalah bandarnya.

Fair Game itulah kehebatan permainan tajen. Dalam hiruk pikuk suara orang menjagokan ayam pilihan mereka, transaksi pertaruhan dapat berlangsung dengan hanya mengangkat jari tangan, jari ini dapat bernilai ribuan ataupun hingga puluhan juta rupiah. Turispun banyak yang tertarik dengan tajen dan kagum hanya dengan jari tangan, orang yang tidak dikenal mau mempercayakan puluhan juta rupiah. Hanya di Bali hal seperti ini dapat berlangsung, tentunya dengan dasar kejujuran dan dasar agama yang kuat hal seperti itu dapat berlangsung.

Dalam permainan tajen tidak ada kecurangan, semua berdasarkan kepercayaan. Jikalau ada kecurangan akan ada petugas yang memberikan keputusan yang akan dianggap benar. Dalam permainan tajen tidak ada kriminalitas, jika ada itupun dengan angka yang sangat kecil. Hal ini dapat terjadi, karena setiap bebotoh menyakini kecurangan akan membawa mereka pada jurang kehancuran, apalagi akibat suatu kecurangan mereka harus menggelar sumpah di pura, hal ini akan berakibat sangat fatal untuk keluarga dan keturunan mereka.

Permainan tajen atau sabung ayam tidak berbeda jauh dengan gelar tinju atau sepak bola atau budaya adu bagong (jawa barat) dan karapan sapi (madura). Kalau dikatakan judi, permainan itupun tidak bersih dari judi. Mungkin yang perlu adalah kemasannya dipercantik, sehingga permainan tajen dapat tetap lestari di tanah Bali sebagai budaya Bali dan turis juga dapat menikmati permainan ini dengan tenang. (Kapten/2005).

Bali Sedang Culture Shock


Sering sekali ketika turis datang ke Bali mempertanyakan berapakah penghasilan orang Bali rata-rata perhari yang didapat? Pertanyaan yang wajar ini sekedar memberikan gambaran mengenai tingkat hidup orang Bali.
Pertanyaan yang sederhana ini sangat sulit mencari jawabannya, ketika turis itu tidak dapat mengerti bagaimana cara orang yang pekerjaannya sebagai pegawai negeri yang gaji bulanannya sudah pasti tidak begitu menonjol mampu memiliki sebuah rumah yang besar dan mewah, mobil tiga buah yang tergolong bagus, ada tiga buah sepeda motor, serta tidak lupa punya anjing ras dua ekor yang sangat besar.

Sang turis semakin tidak mengerti, ketika dia menemukan bahwa keluarga ini rajin melakukan upacara agama dan harus menghadiri undangan adat, menyama braya yang cukup sering. Inilah kehidupan normal manusia Bali, antara pendapatan dan pengeluaran terlihat sangat tidak seimbang, namun kehidupan mereka dapat dijalani dengan santai, bahagia dan terkesan mewah.

Kendaraan yang memadati jalanan tidak ada yang terlihat tua, lebih sering terlihat keluaran yang baru. Pekerjaan jalanan tidak pernah tuntas, sepanjang tahun dan bertahun-tahun. Masyarakat Bali tetap saja melakoninya dengan senyum tanpa merasa dibebani. Apakah ini yang disebut masyarakat yang santun? Ataukah karena alasan pariwisata mereka tidak mau memperlihatkan suatu protes apapun?

Era dua puluh tahun yang lalu sangat sulit menemukan wanita yang memakai celana jeans. Sekarang para gadis sudah umum memakai kaos yang buntut, sehingga celana dalam yang seharusnya disembunyikan malahan sengaja dipertontonkan. Dimana-mana orang pasti membawa hand phone, seperti nyawa kedua yang tidak boleh pisah dari raga. Sebegitu hebat hidup ini sudah terjajah.

Ada majalah untuk tourist yang terbit di Bali yang memuat iklan untuk villa yang gambarnya di ambil dari udara dan terlihat perut bukit bali selatan yang hijau, terpotong bebatuan putih sebagai tanda lokasi dibangunya villa tersebut. Hal yang sama terjadi di Bali utara, tepatnya di Bedugul yang merusak alam demi pembangunan villa atau hotel.

Alam Bali diperkosa terus, hutan bakau sepanjang by pass telah tertutupi beton bangunan yang megah, tanah kosong penuh ruko, sungai penuh sampah dan ironisnya masih telihat di sepanjang bantaran masyarakat sekitar masih membuang hajat dipinggir sungai yang kotor. Mungkin Bali sedang mengalami culture shock (kejutan budaya) alias tidak siap dengan perubahan.

Ajeg Bali telah lama dikumandangkan, namun semakin sering terdengar semakin tak bermakna. Semakin banyak orang ditanyakan apa itu ajeg Bali, semakin banyak yang tidak mengerti alias bingung mencari jawaban yang tepat. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah laju pembangunan yang terlalu cepat akibat globalisasi atau manusia Bali yang terlalu jauh terbelakang?
Culture Shock biasanya dialami oleh manusia yang sulit beradaptasi dalam lingkungannya atau yang baru, biasanya orang ini kalau dipaksakan tanpa usaha untuk memperbaiki diri, maka akan hancur atau gila. Kalaupun dia dapat survive, biasanya orang ini hanya mampu untuk bertahan.

Kekerasan sudah mulai sering terdengar terjadi di Bali, baik yang dilakukan perorangan ataupun dengan pengerahan massa. Kekerasan ini dipicu oleh sebab yang sangat kecil, seperti orang mabuk atau ketersinggungan akibat ditoleh atau akibat ngebut. Massa juga dapat beringas hanya persoalan tapal batas dengan desa di sebelahnya. Paling ironis massa juga dapat merusak atau anarkis saat orang sedang melakukan berata penyepian. Dua desa siap berperang atau membakar rumah di hari raya nyepi hanya persoalan tidak masuk banjar, sementara pendatang yang tidak jelas identitasnya dapat tinggal dengan aman dan nyaman di Bali.

Manusia Bali bekerja keras dalam pertarungan ekonomi yang ketat, namun ada pula yang lupa akan dirinya, ada yang mengalami culture shock, terlena oleh tayangan sinetron televisi yang memabukkan atau terpengaruh dengan kekerasan seperti yang di wartakan di tv. Namun seharusnya manusia Bali cepat menemukan jati dirinya dan merenungkan ajaran Tat Twam Asi dan makna Bali Is Paradise yakni mensyukuri bahwa kita hidup sudah selayak di sorga, jadi Bali jangan diperkosa dan dinodai. (Kapten/2005).

Turis Semakin Pintar


Ketika bom meluluhlantakkan Kuta banyak orang yang masih meragukan kebangkitan pariwisata Bali. Orang Bali sudah merasakan manisnya kue pariwisata dan nampaknya semakin lama semakin banyak ketergantungannya. Sangat sulit untuk menemukan anakmuda yang menginginkan pekerjaan untuk menggarap sawah, sehingga mulai banyak sawah yang terbengkelai dan akhirnya di jual. Sawah juga telah di sewakan kepada petani lain, termasuk untuk memotong padi di Bali sudah sulit menemukan sekehe manyi, akibat telah di ambil alih oleh tenaga dari Jawa.

Banyak anak muda yang menempuh pendidikan di bidang pariwisata, dengan harapan akan mendepatkan pekerjaan di bisnis pariwisata. Kenyataannya sangat jauh dari harapan. Tenaga yang diterima hanya tenaga rendahan saja, sebagian besar level management telah diisi tenaga luar, termasuk yang didatangkan dari luar negeri. Tenega kerja Bali telah tersisih di awal kompetisi.

Sekarang ini, jumlah turis yang datang ke Bali sudah normal, konon jumlahnya lebih banyak dari sebelum bom Bali. Pelaku pariwisata dan pedagang pinggir jalan ataupun art shop banyak yang mengeluhkan sepinya bisnis mereka, sepi akibat sepinya tamu dan jikalau ada nilai uang yang dibelanjakkan turis sangat kecil.

Kathy seorang turis dari Sydney Australia mengatakan “ Saya sudah kelima kali ke Bali dan saya masih menyukainya ” Demikian kata wanita muda berambut pirang “ Saya menyukai Bali karena harga yang murah dan orang Bali sangat ramah “ Kathy adalah tipe turis yang tinggal disebuah hotel sederhana di Kuta dan turis semacam ini pasti akan banyak menghabiskan uang mereka di toko kecil sepanjang jalan di Kuta atau di pantai ketika mereka berjemur. Lain Kathy, lain lagi Sharon “ Saya suka belanja di Bali karena saya sudah tahu cara manawar harga dan tempat yang murah “ Sharon memang lebih sering ke Bali “ Made, sopir bemo akan mengantarkan saya kemanapun dengan harga yang murah “ demikian Saharon menjelaskan “ Kalaupun ada teman saya atau keluarga saya yang ke Bali, maka Made yang selalu menghantar mereka “ demikian imbuh Sharon.

Terlihat turis sudah mulai pintar, mulai bisa memilih tempat dan harga yang pantas. Tidak hanya itu, termasuk mempromosikan dan mengajak teman mereka ketempat yang mereka anggap murah dan tidak membohongi mereka. Di lain pihak para pedagang juga memberikan harga yang murah, demi persaingan bisnis dan tidak kehilangan pelanggan.

Selain harga murah, turis datang ke Bali sebagai gaya hidup “ Saya ke Bali hampir setiap tahun “ Ujar Robert “ Ketika musim dingin di Inggris, saya langsung pindah ke Bali “ “ Mandi matahari dan penduduk yang ramah, saya sangat menyukainya “ Imbuh Robert turis yang berusia agak tua di pantai Sanur. Tipe turis seperti ini adalah turis yang menghabiskan sebagian besar uangnya di hotel.

Hotel besar dan villa yang semakin banyak di Bali melihat peluang bisnis, hotel dan villa berlomba menyediakan fasilitas dan kemudahan bisnis bagi tamu hotel mereka. Hampir seluruh hotel meningkatkan kelas kamar mereka (up grade), termasuk menyediakan makanan dan minuman sepanjang malam, acara hiburan diperbanyak dan fasilitas anak-anak diperbanyak pula. Turis dengan gaya hidup ini sering membawa keluarga mereka, sementara keluarga mermain, mereka dapat menyelesaikan pekerjaan melalui internet hotel yang telah mempunyai kecepatan sangat tinggi. Villa juga tidak kalah, banyak villa yang menyediakan jasa pembantu, sehingga keluarga yang tiggal dapat merasakan bagaikan rumah sendiri, termasuk belanja ke supermarket yang akan diantar sopir sendiri ataupun dapat masak langsung di dapur sendiri.

Kalau semua sudah tersedia di dalam hotel, kapan pedagang kecil dipinggir jalan atau sopir taksi yang menanti di pintu keluar hotel akan mendapatkan turis? Yang pasti mereka akan tetap mengeluh “ Bisnis sepi, tidak ada turis! “ Manusia Balipun jadi tetap miskin, karena hotel dan villa yang besar itu bukanlah milik orang Bali. (Kapten/2005).