Minggu, 14 Juni 2009

Guide Liar

Guide liar selalu dipersoalkan, namun kenyataannya di lapangan tidak ada perbedaan bagi mereka yang resmi ataupun liar, semua sama, semua bertujuan untuk mendapatkan satu hal yakni komisi
____________________________________________________

Pemandu wisata (Guide) sangat penting peranannya dalam perkembangan pariwisata di Bali. Pemda Bali telah berusaha memberikan rambu – rambu agar pemandu wisata dapat tertib dan qualified dalam memberikan informasi kepada wisatawan. Dapat memberikan informasi yang benar tentang Bali dan dapat berperan aktip untuk menjaga dunia pariwisata Bali.
Pada awalnya Pemda Bali telah membentuk organisasi pemandu wisata, yakni Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI), melalui organisasi ini diberikan penataran dan pembinaan, serta diberikan kartu tanda anggota sebagai bukti telah lulus segala pesyaratan sebagai pemandu wisata. Sweeping sering diadakan di daerah tujuan wisata, namun terakhir ini peranan organisasi dan sweeping untuk pemandu liar sudah tidak pernah terdengar lagi. “Punya atau tidak kartu guide, sama saja” Ujar Nyoman Antara, seorang pemandu wisata yang tergolong senior. Dia juga mengatakan kalau organisasi pramuwisata tidak banyak berperan, malah ricuh akibat keserakahan pengurusnya. “UUD, Ujung-Ujungnya Duit, untuk apa lagi banyak berteori” Kilah Nyoman Antara.
Memang kenyataannya pemandu liar yang tertangkap, hanya dikenakan denda uang dan kemudian mereka beroperasi kembali. Konon Sweeping tidak dapat dilakukan secara berkelanjutan, sebab membutuhkan biaya besar, jadi yang liar atau yang resmi tidak ada bedanya, semua berebut mencari hidup. Perjuangan yang ada adalah perjuangan untuk mendapatkan tamu, kemudian menawarkan mereka segala fasilitas wisata dan berharap mendapatkan komisi yang besar. Sebagai pemandu wisata komisi itulah yang abadi, entah didapatkan dengan tanda liar ataupun resmi, yang pasti uang tamu harus di kuras habis.
Menurut pengakuan Nyoman Antara, banyak pemandu wisata travel besar yang tidak tahu tentang budaya Bali, namun mereka memiliki kartu guiding. Sebagai contoh, Lihat saja seberapa banyak pemandu wisata turis Taiwan yang tahu Bali? Seberapa besar sih kepedulian mereka terhadap pariwisata Bali? Berbahasa Indonesia saja tidak becus, apalagi kalau mereka berpakaian adat, kadang terlihat lucu. Namun tidak ada koreksi ataupun teguran untuk mereka dari instansi terkait. Belum lagi pemandu wisata yang mendapatkan tamu di jalanan atau di pantai, Dari segi penampilan sudah sangat tidak mencerminkan Bali, kita mau bilang apa? Apalah artinya sebuah kartu pemandu wisata yang terpajang di dada, kalau tanpa itupun dapat menjalankan bisnis dengan tenang.
Sekarang banyak juga pemandu wisata yang dilakukan oleh tenaga asing yang tinggal di Bali dengan visa turis. Artinya berdasarkan hukum yang berlaku, mereka tidak dibenarkan melakukan aktivitas bisnis. Kenyataannya mereka tetap menggaruk dollar di Bali, menggaruk porsi makan orang Bali. Alasan mereka adalah menghantarkan teman atau kerabat mereka, sebanarnya mereka mendapatkan tamu berdasarkan iklan mereka di internet atau website, lalu mereka melayani bagaikan sebuah travel agent. Kalau keadaan pariwisata Bali terus seperti ini, siapakah yang masih perduli? Kilah Nyoman Antara.
Toleransi orang Bali untuk menerima mereka yang berasal dari luar Bali sebagai pemandu wisata, sudah sangat tinggi. Kalau dapat diberikan istilah, bagaikan makanan yang ada di piring mereka di cokot, orang Bali diam saja. Namanya juga sama-sama cari makan. Kalau kaidah mencari makan sama-sama dihormati, tentu akan baik dan berjangka panjang. Namun suatu saat mungkin piring nasinya di balik alias pariwisata Bali hancur, apakah orang Bali masih tetap tidak perduli? Apakah tidak ada yang berpikir sejauh itu?
Orang Bali sebagai pemandu wisata, walaupun mereka yang tahu betul dengan adat istiadat dan pemilik pulau ini, namun sekarang sudah mulai tersisih. Semakin terbukanya keran pariwisata Bali, semakin beragamnya turis yang datang, semakin tersisih orang Bali. Ironis memang, namun orang Bali sendiri tidak mau meningkatkan kemampuan mereka. Kalau dilihat rata-rata pemandu wisata asli Bali hanya mampu berbahasa Inggris, sebagian sudah merambah bahasa Jepang. Ternyata banyak turis dari Taiwan, Rusia, Cekosloakia dan beberapa negara Eropa yang hanya mengerti bahasa mereka sendiri, apalagi nantinya akan banyak turis Cina yang hadir di Bali. Bagaimana dapat mengharapkan guide resmi orang Bali untuk mengambil peran atau ikut kebagian rejeki?
Orang Bali mau protes? Boleh saja. Yang pasti persaingan bisnis sudah berlangsung, yang kurang profesional akan tersisih. Pemandu wisata Bali katakanlah yang resmi, tentu tidak boleh terus berlindung di ketiak Pemda Bali. Mereka harus bangkit meningkatkan diri atau sumber daya mereka disesuaikan dengan permintaan pasar, sebab persaingan semakin ketat. Katakanlah sebagai contoh, seorang turis selama di Bali dilayani oleh seorang pemandu wisata liar asal Jawa, yang kebetulan bertemu di pantai Kuta. Ternyata sang turis sangat senang, banyak berbelanja dan mengirimkan uang untuk keluarganya pemandu wisata liar itu. Setahun kemudian turis kembali ke Bali dan memesan barang kerajinan untuk hotelnya yang sedang di bangun dan memesan banyak ukiran Jepara untuk bisnisnya. Apakah artinya ilustrasi itu? Artinya orang Bali telah kehilangan peluang emas ! Apakah masih penting arti pemandu wisata resmi atau liar?, Demikian Nyoman Antara terenyuh. (TAKSU/Gung).

Selasa, 26 Mei 2009

Potongan Tulang Keluar Dari Tubuh Ibuku

Setiap orang kalau ditawarkan kesempatan akan cenderung untuk
mengambil kesempatan itu, tidak perduli sekecil apapun kesempatan itu. Apalagi
bagi mereka yang sedang susah atau menderita penyakit, jika ada yang menawarkan
akan kesembuhan atau dapat meringankan rasa sakit, pastilah tawaran itu akan
dicoba.

Ibuku memang sudah divonis dokter sakit kanker dan hidupnya
paling lama akan bertahan selama enam bulan lagi. Kami awalnya sangat kaget
mendengar berita itu, karena ibuku selama ini terlihat sehat walafiat saja. Dia
adalah ibu yang hanya makan makanan yang ada di rumah dan beliau cukup selektip.
Namun kenyataannya divonis positip kanker ganas, artinya kemungkinannya sudah
menyebar ke seluruh tubuh. Awalnya aku tidak yakin, namun tidak beberapa lama
terlihat ada beberapa tonjolan yang mulai muncul dari tubuhnya dan secara
bersamaan kondisinya mulai menurun.

Seperti biasanya banyak orang
yang memberikan pendapat dan saran untuk berobat alternatif, lengkap dengan data
dukun atau paranormal dan pengalaman mereka atau kerabatnya yang telah
disembuhkan. Awalnya aku tidak terpengaruh dengan ide pengobatan alternatif,
namun banyaknya cerita orang yang konon dapat disembuhkan, kenapa aku tidak
mencobanya?

Aku akhirnya memutuskan untuk mencoba kepada salah satu
pengobatan tradisional. Rumahnya di Desa Blayu, Tabanan. Aku tertarik karena
konon salah satu Menteri yang masih menjabat saat itu, rutin berobat dan sembuh
dari penyakitnya. Akupun akhirnya hadir di sana untuk mengobati sakit ibuku.
Setelah sampai dirumahnya, tampak beberapa orang yang akan berobat menunggu
giliran mereka. Akupun semakin yakin dan percaya atas
kemampuannya.

“Jero Mangku, Ibu saya menderita kanker dan sudah
mulai tumbuh benjolan pada tubuhnya”. Kataku memberikan penjelasan dan
gambaran.
“Biar saya lihat dulu, sambil meneliti benjolan yang ada.”
“Ini
memang kanker dan sudah mulai menyebar ke seluruh tubuh”. Ujarnya
Kalem.
“Apakah penyakit seperti ini dapat diobati?” Tanyaku
mendesak.
“Biasanya bisa dan tidak masalah. Nanti saya mohonkan semoga atas
seijin Tuhan saya dapat menyembuhkannya”. Ujarnya dengan
tenang.

Sambil menunggu persiapan, akupun mengobrol untuk mengisi
suasana. Menurut pengakuan Jero Mangku, beliau memperoleh ilmunya dari ‘pica’
yang di atas. Banyak yang ingin belajar, baik dari dalam dan bule-bule luar
negeri. Termasuk yang rajin saat ini bule dari Inggris, seorang profesor
dinegaranya. Aku sedikit terkejut, seorang profesor? Apakah ilmunya begitu
hebatnya? Namun saat itu aku hanya mengangguk dan tampak
terkagum.

“Tolong tangan ibu di pegang, saya akan mengurut badan
ibu.” Ujar Jero Mangku.
Akupun memegang jemari ibuku.
“Nanti kalau di
badan ibu ada penyakit, maka akan ada yang keluar.” Lanjut Jero
Mangku.
“Apakah akan sakit?” Tanya Ibuku.
“Sedikit saja.” Ujar Jero Mangku
sambi bercanda.
“Apakah penyakitnya tidak nyerempet atau berpindah kebadan
saya?” Tanyaku menyakinkan, karena posisiku berada sangat dekat.
“Pastilah
tidak, karena semua ada dibawah kontrol saya.” Jero Mangku meyakinkan
saya.

Jero Mangku mengusap tangan ibuku dengan semacam minyak,
katakanlah minyak khusus buatan Jero Mangku. Tak beberapa lama ibuku mengaduh,
Jero Mangku tampak berkonsentrasi pada pijitannya. Tampak seperti ada benda
dibawah kulit ibuku, seperti benjolan kecil dan semakin digeser, semakin
membesar dan akhirnya kulitnya robek dan benda itu sudah diluar. Benda lalu
dicabut dan di taruh diatas piring. Bekas luka diusap dan tampak menutup kembali
tanpa ada darah yang menetes. Aku terpana.

Benda yang keluar dari
tubuh ibuku berupa potongan tulang, yang kedua ujungnya masih terlihat tajam
sepanjang 3 cm. Kalau dilihat ukuran besarnya setara dengan tulang paha ayam.
Aku tidak mampu berpikir, tulang apakah ini dan bagaimana bisa ada di dalam
tubuh dan bagaimana Jero Mangku dapat mengeluarkannya? Sebentarnya lagi tampak
Jero Mangku mengurut bagian yang lainnya yakni di leher dan keluar lagi tulang
yang serupa dengan ukuran yang lebih pendek. Begitu seterusnya hingga malam itu
keluar sebanyak delapan buah tulang dari delapan lokasi yang berbeda dan ibuku
tampak sangat kelelahan menahan sakit. Apakah memang ini sumber penyakitnya?
Kenapa bisa sebanyak itu? Dan kenapa hanya berbentuk tulang? tidak bentuk benda
lainnya? Bila perlu emas batangan, biar aku bisa jual untuk biaya pengobatan.
Aku tetap tidak percaya dengan apa yang aku lihat dengan mataku sediri, yang
hanya berjarak paling jauh 50 cm dari benda itu.

Aku cukup terkesan
dengan semua yang aku lihat. Aku juga tidak mengerti bagaimana caranya potongan
tulang dapat keluar dari tubuh ibuku. Yang lebih penting dan menjadi perhatianku
apakah ibuku menjadi sehat? Akupun terus memonitor dan menanyakan perkembangan
kondisi ibuku. Secara logika, kalau ada penyakit 10 tulang dan sudah dikeluarkan
8 tulang, secara bodoh dapat disimpulkan pasien akan sembuh atau menjadi semakin
baik, namun kenyataannya ibuku tidak merasakan perubahan yang berarti dan dua
hari kemudian kesehatannya malah drop. Akupun kembali membawanya ke rumah sakit.
Kebanyakan orang kalau bercerita tentang dirinya terlalu berlebihan dan beberapa
bulan kemudian sang Balian yang mengobati itu meninggal, demikian pula dengan
ibuku. (Kapten/2009)

Rabu, 20 Mei 2009

Bebotoh Dermawan

“Kalau boleh dihitung sudah puluhan milyar saya kalah di tajen” Demikian Turah Sudarsana mengawali ceritanya. “Saya kalah, namun saya bahagia”
Menurut ‘Turah” demikian dia sering disapa masyarakat, tajen adalah sebuah hiburan rakyat. Dalam tajen suasana kekeluargaan dan keakraban akan terasa sangat kental. Interaksi dengan masyarakat dapat dengan mudah dilakukan. “Saya datang ketajen, masyarakat pasti senang dan menyambut saya dengan antusias. Sebab kalau saya datang saya sering kalah” Ujarnya.

Dengan adanya tajen uang dapat berputar. Masyarakat kecil banyak dibantu dengan tajen. Mereka yang memiliki banyak uang dapat membagikan uang mereka kepada rakyat kecil melalui tajen. “Sebagai manusia kita jangan pelit, uang jangan disimpan terus di Bank untuk memperkaya diri sendiri. Kalau ada waktu berbaurlah dengan rakyat dan berderma” Jawab Turah yang sangat doyan dengan olah raga tinju.

Kenyataannya banyak pura dan banjar atau bangunan lainnya yang dibangun dengan hasil tajen. “Tajen di Bali adalah sebuah budaya yang harus kita pertahankan, warisan leluhur dan hiburan rakyat kecil” “Banyak rakyat di Bali yang menggantungkan kelangsungan hidup keluarga mereka dari tajen, kalau bisa tajen agar tetap eksis” Demikian Turah Sudarsana mengakhiri dengan senyum, karena malam semakin larut. (Kapten/2005).

Bebotoh Kalah

Hanya wajah lesu yang tampak saat seorang bebotoh (petaruh ayam) kalah. Tidak banyak kata yang di ucap akibat masih memikirkan kekalahan atupun jumlah kekalahan yang terkadang cukup besar. Sudah sering terdengar bahwa seseorang menggadaikan atau menjual barang mereka hanya untuk bertaruh. Sepeda motor, mobil, tanah ataupun rumah adalah hal mudah untuk berpindah. Ada ucapan orang di Bali yang sering mengatakan
“ Tanahnya sudah habis akibat di garuk ayam “.

Bebotoh yang kalah, walaupun sampai habis akan menerima kekalahan itu dengan jiwa besar. Kekalahan adalah suatu resiko dari suatu permainan. Sama halnya dengan pertandingan sepak bola, kalau tidak kalah adalah menang. Begitu pula dengan permainan tajen, ketika kalah tidak saja kehilangan ayam, namun kehilangan uang atau mungkin kehilangan segalanya. Bebotoh yang kalah dalam permainan tajen akan siap menerima akibat kekalahan, sebelum mereka berangkat ke tajen. Adalah sangat umum bebotoh menggunakan banyak kantong untuk menaruh uang mereka, sebagai alat kontrol sebelum mereka berangkat ke arena, seandainyapun kalah bebotoh yang kalah tidak akan melakukan hal yang bersifat kriminal. Mereka akan pasrah akan kekalahan, itulah etika bebotoh di Bali.

Ketika Kapolda Bali dan jajaran kepolisian membubarkan tajen, masyarakat masih menanggapinya dengan dingin, karena kenyataannya masih banyak tajen berlangsung dan masih banyak polisi yang minta cuk (sumbangan) ke arena tajen. Polisi lebih memperketat pelaksanaan pasal 303 tentang judi, bebotoh masih tersenyum, artinya semua bisa diatur, togel juga masih jalan. Namun ketika instruksi Kapolri yang baru dilantik turun, semua kegiatan judi menjadi tertib, termasuk judi di ruangan yang ber AC.

Bebotoh Bali mendatangi kantor wakil rakyat, menuntut diberikan kelonggaran pelaksanaan permainan rakyat yakni tajen. Ditiadakannya tajen membuat Bali terasa mati. Masyarakat kehilangan hiburan, kehilangan pekerjaan dan kehilangan perputaran uang. Dengan demikian tajen dipandang perlu untuk menumbuhkan gairah masyarakat, tajen perlu dihidupkan lagi demi budaya Bali. Tajen perlu di atur kembali, perlu dikemas agar sesuai dengan jaman sekarang, tanpa kehilangan faktor budaya dan rohnya. Bebotoh Bali menuntut kelonggaran artinya kalau kembali ditata dengan baik, tentu ada celah yang longgar untuk kebaikan bersama. “Kami hanya menuntut kelonggaran, bukan menuntut kemerdekaan “ Komentar Made Sirna. “ kalau wakil rakyat tidak memperjuangkannya, itupun sudah resiko, bebotoh kalah adalah biasa “. Ujar beberapa orang yang masih berharap tajen akan di gelar lagi di Bali. (Kapten/2005).

Budayakan Tajen

Ratusan orang bebotoh mendatangi kantor DPRD Tabanan untuk menyampaikan aspirasi mereka sambil mengusung sebuah sepanduk besar bertuliskan “ Ekonomi Masyarakat Kecil Mati Tanpa Tajen, Tajen Bukan Semata-mata Judi Tapi Bagian Dari Budaya Yang Perlu Dilestarikan Demi Ajeg Bali “. Ternyata Ajeg Bali tidak hanya berbusana adat saja, walaupun kadang tidak lengkap, tapi sudah menyentuh bagian terlarang di Republik ini dan sekarang hangat diberantas yakni judi.

Tajen adalah budaya, masyarakat di Bali sangat menyukai permainan ini. Permainan yang dianggap paling populer sejak ratusan tahun yang lalu dan melibatkan dan menguntungkan banyak orang , termasuk mendukung pembangunan dipedesaan.

Mulai pedagang ayam di pasar Satria dan Beringkit, setiap tengah malam dibanjiri ribuan ayam dari Jawa. Bebotoh sudah mulai memilih ayam yang baru turun dari mobil ada juga pedagang ayam memilih untuk di jual di arena tajen.

Arena tajen yang biasanya dipersiapkan oleh desa adat sudah memungut biaya sejak mengatur parkir, bebotoh memasuki arena biasanya terkena sumbangan sukarela (dana punia) di depan pintu masuk. Bagi bebotoh besar sudah disediakan kursi di barisan depan dan sewa kursipun harus di bayar, ketika pertarungan terjadi yang menang akan dipotong persenan sekitar 10 persen untuk petugas arena dan sebagian disumbangkan untuk sewa tempat judi. Banyak orang yang terlibat, banyak orang yang bekerja untuk pagelaran permainan tajen.

Setiap tajen pasti ramai oleh gerombolan orang yang sibuk bertaruh, di sekitar arena banyak terlihat pedagang nasi dan makanan ringan lainnya. Di dalam arena juga terlihat pedagang makanan dan minuman keliling menjajakan dagangan mereka, ketika ada break persiapan pertarungan ayam.

Suasana terlihat bahagia, bebotoh yang kalahpun tak menampakkan wajah kusut karena mereka menyadari itu adalah permainan. Kadang bisa menang dan kadang bisa kalah “ namanya juga permainan “ begitu yang sering mereka katakan. Bagi bebotoh yang menang biasanya terlihat berfoya bersama rekan mereka merayakan kemenangan hari itu, yang kalah penuh harap esok akan menang. Tajen adalah roda perputaran, semua pernah merasakan di atas ataupun di bawah. Itu yang membedakan tajen dengan togel, togel yang selalu menang dan kaya adalah bandarnya.

Fair Game itulah kehebatan permainan tajen. Dalam hiruk pikuk suara orang menjagokan ayam pilihan mereka, transaksi pertaruhan dapat berlangsung dengan hanya mengangkat jari tangan, jari ini dapat bernilai ribuan ataupun hingga puluhan juta rupiah. Turispun banyak yang tertarik dengan tajen dan kagum hanya dengan jari tangan, orang yang tidak dikenal mau mempercayakan puluhan juta rupiah. Hanya di Bali hal seperti ini dapat berlangsung, tentunya dengan dasar kejujuran dan dasar agama yang kuat hal seperti itu dapat berlangsung.

Dalam permainan tajen tidak ada kecurangan, semua berdasarkan kepercayaan. Jikalau ada kecurangan akan ada petugas yang memberikan keputusan yang akan dianggap benar. Dalam permainan tajen tidak ada kriminalitas, jika ada itupun dengan angka yang sangat kecil. Hal ini dapat terjadi, karena setiap bebotoh menyakini kecurangan akan membawa mereka pada jurang kehancuran, apalagi akibat suatu kecurangan mereka harus menggelar sumpah di pura, hal ini akan berakibat sangat fatal untuk keluarga dan keturunan mereka.

Permainan tajen atau sabung ayam tidak berbeda jauh dengan gelar tinju atau sepak bola atau budaya adu bagong (jawa barat) dan karapan sapi (madura). Kalau dikatakan judi, permainan itupun tidak bersih dari judi. Mungkin yang perlu adalah kemasannya dipercantik, sehingga permainan tajen dapat tetap lestari di tanah Bali sebagai budaya Bali dan turis juga dapat menikmati permainan ini dengan tenang. (Kapten/2005).

Bali Sedang Culture Shock


Sering sekali ketika turis datang ke Bali mempertanyakan berapakah penghasilan orang Bali rata-rata perhari yang didapat? Pertanyaan yang wajar ini sekedar memberikan gambaran mengenai tingkat hidup orang Bali.
Pertanyaan yang sederhana ini sangat sulit mencari jawabannya, ketika turis itu tidak dapat mengerti bagaimana cara orang yang pekerjaannya sebagai pegawai negeri yang gaji bulanannya sudah pasti tidak begitu menonjol mampu memiliki sebuah rumah yang besar dan mewah, mobil tiga buah yang tergolong bagus, ada tiga buah sepeda motor, serta tidak lupa punya anjing ras dua ekor yang sangat besar.

Sang turis semakin tidak mengerti, ketika dia menemukan bahwa keluarga ini rajin melakukan upacara agama dan harus menghadiri undangan adat, menyama braya yang cukup sering. Inilah kehidupan normal manusia Bali, antara pendapatan dan pengeluaran terlihat sangat tidak seimbang, namun kehidupan mereka dapat dijalani dengan santai, bahagia dan terkesan mewah.

Kendaraan yang memadati jalanan tidak ada yang terlihat tua, lebih sering terlihat keluaran yang baru. Pekerjaan jalanan tidak pernah tuntas, sepanjang tahun dan bertahun-tahun. Masyarakat Bali tetap saja melakoninya dengan senyum tanpa merasa dibebani. Apakah ini yang disebut masyarakat yang santun? Ataukah karena alasan pariwisata mereka tidak mau memperlihatkan suatu protes apapun?

Era dua puluh tahun yang lalu sangat sulit menemukan wanita yang memakai celana jeans. Sekarang para gadis sudah umum memakai kaos yang buntut, sehingga celana dalam yang seharusnya disembunyikan malahan sengaja dipertontonkan. Dimana-mana orang pasti membawa hand phone, seperti nyawa kedua yang tidak boleh pisah dari raga. Sebegitu hebat hidup ini sudah terjajah.

Ada majalah untuk tourist yang terbit di Bali yang memuat iklan untuk villa yang gambarnya di ambil dari udara dan terlihat perut bukit bali selatan yang hijau, terpotong bebatuan putih sebagai tanda lokasi dibangunya villa tersebut. Hal yang sama terjadi di Bali utara, tepatnya di Bedugul yang merusak alam demi pembangunan villa atau hotel.

Alam Bali diperkosa terus, hutan bakau sepanjang by pass telah tertutupi beton bangunan yang megah, tanah kosong penuh ruko, sungai penuh sampah dan ironisnya masih telihat di sepanjang bantaran masyarakat sekitar masih membuang hajat dipinggir sungai yang kotor. Mungkin Bali sedang mengalami culture shock (kejutan budaya) alias tidak siap dengan perubahan.

Ajeg Bali telah lama dikumandangkan, namun semakin sering terdengar semakin tak bermakna. Semakin banyak orang ditanyakan apa itu ajeg Bali, semakin banyak yang tidak mengerti alias bingung mencari jawaban yang tepat. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah laju pembangunan yang terlalu cepat akibat globalisasi atau manusia Bali yang terlalu jauh terbelakang?
Culture Shock biasanya dialami oleh manusia yang sulit beradaptasi dalam lingkungannya atau yang baru, biasanya orang ini kalau dipaksakan tanpa usaha untuk memperbaiki diri, maka akan hancur atau gila. Kalaupun dia dapat survive, biasanya orang ini hanya mampu untuk bertahan.

Kekerasan sudah mulai sering terdengar terjadi di Bali, baik yang dilakukan perorangan ataupun dengan pengerahan massa. Kekerasan ini dipicu oleh sebab yang sangat kecil, seperti orang mabuk atau ketersinggungan akibat ditoleh atau akibat ngebut. Massa juga dapat beringas hanya persoalan tapal batas dengan desa di sebelahnya. Paling ironis massa juga dapat merusak atau anarkis saat orang sedang melakukan berata penyepian. Dua desa siap berperang atau membakar rumah di hari raya nyepi hanya persoalan tidak masuk banjar, sementara pendatang yang tidak jelas identitasnya dapat tinggal dengan aman dan nyaman di Bali.

Manusia Bali bekerja keras dalam pertarungan ekonomi yang ketat, namun ada pula yang lupa akan dirinya, ada yang mengalami culture shock, terlena oleh tayangan sinetron televisi yang memabukkan atau terpengaruh dengan kekerasan seperti yang di wartakan di tv. Namun seharusnya manusia Bali cepat menemukan jati dirinya dan merenungkan ajaran Tat Twam Asi dan makna Bali Is Paradise yakni mensyukuri bahwa kita hidup sudah selayak di sorga, jadi Bali jangan diperkosa dan dinodai. (Kapten/2005).

Turis Semakin Pintar


Ketika bom meluluhlantakkan Kuta banyak orang yang masih meragukan kebangkitan pariwisata Bali. Orang Bali sudah merasakan manisnya kue pariwisata dan nampaknya semakin lama semakin banyak ketergantungannya. Sangat sulit untuk menemukan anakmuda yang menginginkan pekerjaan untuk menggarap sawah, sehingga mulai banyak sawah yang terbengkelai dan akhirnya di jual. Sawah juga telah di sewakan kepada petani lain, termasuk untuk memotong padi di Bali sudah sulit menemukan sekehe manyi, akibat telah di ambil alih oleh tenaga dari Jawa.

Banyak anak muda yang menempuh pendidikan di bidang pariwisata, dengan harapan akan mendepatkan pekerjaan di bisnis pariwisata. Kenyataannya sangat jauh dari harapan. Tenaga yang diterima hanya tenaga rendahan saja, sebagian besar level management telah diisi tenaga luar, termasuk yang didatangkan dari luar negeri. Tenega kerja Bali telah tersisih di awal kompetisi.

Sekarang ini, jumlah turis yang datang ke Bali sudah normal, konon jumlahnya lebih banyak dari sebelum bom Bali. Pelaku pariwisata dan pedagang pinggir jalan ataupun art shop banyak yang mengeluhkan sepinya bisnis mereka, sepi akibat sepinya tamu dan jikalau ada nilai uang yang dibelanjakkan turis sangat kecil.

Kathy seorang turis dari Sydney Australia mengatakan “ Saya sudah kelima kali ke Bali dan saya masih menyukainya ” Demikian kata wanita muda berambut pirang “ Saya menyukai Bali karena harga yang murah dan orang Bali sangat ramah “ Kathy adalah tipe turis yang tinggal disebuah hotel sederhana di Kuta dan turis semacam ini pasti akan banyak menghabiskan uang mereka di toko kecil sepanjang jalan di Kuta atau di pantai ketika mereka berjemur. Lain Kathy, lain lagi Sharon “ Saya suka belanja di Bali karena saya sudah tahu cara manawar harga dan tempat yang murah “ Sharon memang lebih sering ke Bali “ Made, sopir bemo akan mengantarkan saya kemanapun dengan harga yang murah “ demikian Saharon menjelaskan “ Kalaupun ada teman saya atau keluarga saya yang ke Bali, maka Made yang selalu menghantar mereka “ demikian imbuh Sharon.

Terlihat turis sudah mulai pintar, mulai bisa memilih tempat dan harga yang pantas. Tidak hanya itu, termasuk mempromosikan dan mengajak teman mereka ketempat yang mereka anggap murah dan tidak membohongi mereka. Di lain pihak para pedagang juga memberikan harga yang murah, demi persaingan bisnis dan tidak kehilangan pelanggan.

Selain harga murah, turis datang ke Bali sebagai gaya hidup “ Saya ke Bali hampir setiap tahun “ Ujar Robert “ Ketika musim dingin di Inggris, saya langsung pindah ke Bali “ “ Mandi matahari dan penduduk yang ramah, saya sangat menyukainya “ Imbuh Robert turis yang berusia agak tua di pantai Sanur. Tipe turis seperti ini adalah turis yang menghabiskan sebagian besar uangnya di hotel.

Hotel besar dan villa yang semakin banyak di Bali melihat peluang bisnis, hotel dan villa berlomba menyediakan fasilitas dan kemudahan bisnis bagi tamu hotel mereka. Hampir seluruh hotel meningkatkan kelas kamar mereka (up grade), termasuk menyediakan makanan dan minuman sepanjang malam, acara hiburan diperbanyak dan fasilitas anak-anak diperbanyak pula. Turis dengan gaya hidup ini sering membawa keluarga mereka, sementara keluarga mermain, mereka dapat menyelesaikan pekerjaan melalui internet hotel yang telah mempunyai kecepatan sangat tinggi. Villa juga tidak kalah, banyak villa yang menyediakan jasa pembantu, sehingga keluarga yang tiggal dapat merasakan bagaikan rumah sendiri, termasuk belanja ke supermarket yang akan diantar sopir sendiri ataupun dapat masak langsung di dapur sendiri.

Kalau semua sudah tersedia di dalam hotel, kapan pedagang kecil dipinggir jalan atau sopir taksi yang menanti di pintu keluar hotel akan mendapatkan turis? Yang pasti mereka akan tetap mengeluh “ Bisnis sepi, tidak ada turis! “ Manusia Balipun jadi tetap miskin, karena hotel dan villa yang besar itu bukanlah milik orang Bali. (Kapten/2005).

Budaya Barat

Di sekolah dan penataran P4 di berikan materi tentang budaya barat, bahwa harus disikapai dengan hati-hati pengaruh budaya barat. Budaya barat hanya dapat diterima jika sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Budaya barat sepertinya suatu momok yang ditakuti mencemari budaya timur, takut dicemari seolah-olah mengandung suatu pengertian bahwa budaya timur memiliki kedudukkan yang lebih tinggi atau lebih adiluhung.

Dalam gambaran masyarakat umum budaya barat adalah sikap hidup yang tidak tebiasa di dunia timur, seperti minum minuman keras atau beralkohol tinggi, dancing seperti yang ada di diskotik, berpakaian ala kadarnya sehingga kelihatan bagian tubuh yang seharusnya terlindungi, free sex atau pasangan bebas atau masih banyak lagi contoh lainnya yang dianggap tidak seuai dengan budaya timur.

Di jaman Globalisasi saat ini apakah ketakutan akan pengaruh budaya barat masih relevant? Kalau direnungkan bahwa di awal tahun 1900 hingga tahun 1970 wanita di Bali masih umum terlihat bertelanjang dada di pinggiran jalan, mungkin karena pengaruh budaya barat yakni dengan banyaknya turis yang berkunjung di Bali dan terlalu seringnya wanita Bali di jadikan model telanjang dada akhirnya wanita Bali merobah gaya hidup mereka. Wanita Bali tidak bertelanjang dada lagi dan tidak mau dijadikan model foto atau lukisan dengan dadanya yang nyembul.

Demikian pula dengan tradisi megenjekkan, suatu tradisi minum bareng di daerah Karangasem bertujuan agar kekerabatan dan keakraban dapat tetap di jalin, sehingga walaupun mereka di rantau, mereka tetap satu. Budaya minum bareng sambil bernyanyi riang sudah lama berlangsung dan sampai kini tetap masih dipertahankan. “Orang bule happy di bar dan kita happy di Banjar” Sela Ketut Widana “ Emang apa bedanya? Kita sama-sama happy !”

Brittney Spiers penyanyi anak muda ketika videonya muncul terlihat sambil menyanyi dia mempergunakan baju kaos gantut, sehingga pusernya kelihatan dan diapun tampak makin seksi dalam penampilannya. Tidak beberapa lama artis sinetron di Jakarta tampak pula telah memakai busana yang mirip dan wanita di Bali sekarang sengaja mempergunakan baju buntut dan kalau naik motor akan terlihat celana didalamya atau bentuk pantatnya.

Kebanyakkan orang salah mengartikan free sex, menurut mereka artikan bebas untuk melakukan sex dengan siapapun yang diiinginkan. Kasarnya kalau diartikan seperti itu, emangnya manusia tidak punya perasaan, jeleknya lagi kalau dibandingkan dengan anjing, anjing juga masih memakai hasrat dan kemauan dalam melakukan bisnis mereka.
Free sex sudah melanda anak muda di Bali, sangat sering ditemukan anak muda yang berganti pasangan bercinta dan sudah sangat banyak pasangan yang kumpul kebo di Bali.

Peredaran narkoba semakin lama semakin meningkat di Bali. Peningkatan ini dapat dikatakan dengan meningkatnya jumlah permintaan, artinya pemakai narkoba sudah semakin banyak di Bali. Hukuman yang semakin keras tidak menyurutkan kemauan. Banyak bandar narkoba tertangkap dan mereka bukan Bali asli, namun jumlah orang Bali asli yang tinggal di penjara akibat narkoba juga banyak.

Budaya barat apakah masih menakutkan atau malah menyenangkan? Kenapa harus selalu munafik dan tidak mau berkata jujur bahwa budaya barat itu baik dan orang timur banyak meniru budaya barat, bukan akibat dipengaruhi, tetapi emang suka meniru. Mobil bagus di Barat akan cepat ditiru di Timur, hand phone baru di Barat harus ada di Timur, band baru di barat akan ada di Timur, Lagu baru nongol di Barat harus ada di Timur, namun tari dan gong kreasi baru di Timur ternyata belum di tiru di Barat.

Budaya Timur yang adilihung, peninggalan nenek moyang belum dapat dijaga dengan baik, sangat rapuh dan mudah untuk dipengaruhi. Hal seperti ini sangat menyedihkan, perlu suatu gerakkan kesadaran untuk kembali menyelamatkan dan melestaraikan budaya yang masih tersisa. Pesta Kesenian Bali yang sudah demikian tua, belum menampakkan hasil nyata penyelamatan budaya apalagi pelestariannya. Anak muda tidak dapat disalahkan kalau mereka tidak dapat menyelamatkannya, karena mereka sendiri mungkin tidak mengerti apa itu budaya. (Kapten/2005).

Tattoo Juga Penyakit

Dunia rajah merajah tubuh dapat menimbulkan penyakit, dari yang paling sederhana hingga yang sangat serius. Penyakit ini perlu diketahui sebelum kita memutuskan untuk mentattoo diri.

Penyakit yang paling sederhana yang dirasakan sebagian besar mereka yang telah bertattoo adalah ketagihan tattoo. Entah karena alasan gambar yang bagus atau kerinduan akan rasa sakit saat di tattoo, biasanya mereka yang telah memiliki tattoo selalu ingin menambah dengan gambar lainnya. Jangan heran kalau akhirnya seluruh tubuh mereka penuh dengan tattoo.

Penyakit serius akibat kecerobohan dalam melakukan tattoo adalah terjangkitnya penyakit hepatitis C dan HIV. Dalam sebuah penelitian di Australia, sangat sedikit jumlah studio tattoo yang memiliki pengetahuan tentang infeksi dan penularannya. Penyakit lain yang dapat ditimbulkan adalah terjadinya alergi terhadap zat warna atau pelebaran tusukan jarum. Biasanya mereka yang baru selesai di tattoo, malam hari akan merasakan tubuh mereka demam.

Sangat penting memperhatikan peralatan yang digunakan oleh operator tattoo yakni bersih dan steril, terutama jarum harus yang baru dan tidak pernah mempergunakan jarum yang pernah dipakai. Tidak mempergunakan warna sisa yang telah dipakai orang lain dan juga operator tattoo harus mempergunakan sarung tangan baru atau yang telah disterilkan. (Kapten/2005).

Tattoo Juga Seni

Seni tattoo adalah bentuk popular anak muda saat ini untuk mengekspresikan diri. Kalau dilihat dari perjalanan sejarahnya seni tattoo sudah lama merambah di tanah air. Masyarakat di Bali memandang tattoo sebagai seni yang dituangkan di atas kulit secara permanen. Selain ekspresi seni ada beberapa pendapat tentang tattoo yakni suatu simbul yang berhubungan dengan kejantanan (macho), gambar yang dipilih berbentuk symbol Harley Davidson, naga, harimau, ular atau binatang buas lainnya. Sebagai ekspresi religius banyak yang memilih gambar dari simbul keagamaan. Ekspresi keangkeran dipilih gambar rangda, celuluk, penyihir dan sebagai ekspresi kesukaan atau kegemaran biasanya dipilih gambar laba-laba, monyet, tokoh kartun, koi, bunga dan banyak lagi yang lainnya.

Seni tattoo melalui beberapa proses dari mencari ilham gambar atau design, sketsa gambar pada tubuh, memilih warna agar sesuai dengan warna kulit dan proses menggaris alat tattoo dan mengukur kedalaman jarum masuk ke dalam tubuh, merupakan seni tersendiri.

Tattoo tidaklah monopoli lelaki, wanita juga banyak tertarik dengan alasan kecantikan, mulai dari tattoo alis mata hingga bagian tubuh lainnya. Biasanya wanita tertarik dengan tattoo yang berukuran kecil. Selain alasan kecantikan adalah gaya (trend) masa kini, terutama untuk kalangan remaja putri banyak meniru artis pujaan mereka yang telah bertattoo.

Masyarakat di pulau jawa sampai saat ini banyak yang masih beranggapan tattoo berhubungan atau dekat dengan dunia kriminal, sebab jaman dahulu tattoo sebagian besar dilakukan di dalam penjara. Selain itu tattoo bertentangan dengan ajaran agama yang di anut.

Masyarakat Bali menilai, tattoo selain sebagai seni juga merupakan sumber penghasilan yang menggiurkan. Karenanya tukang tattoo banyak bermunculan di areal turis, seperti Kuta ataupun Ubud.

Pemuka agama di Bali menghimbau agar tukang tattoo menghormati simbol agama Hindu dalam bisnis mereka, untuk tidak meletakkan simbol agama itu pada tempat yang tidak sepantasnya, apalagi untuk turis yang hanya berdasarkan alasan ekonomis tanpa mengerti makna dari simbol itu sendiri.

Perkembangan tattoo di Bali sangat pesat, dari segi design ataupun warna. Walaupun artis tattoo di Bali menggunakan alat yang sangat sederhana, tetapi sense of art dan teknik sudah cukup memadai. Tidak kalah dengan tattoo luar, makanya banyak turis yang tertarik untuk mentattoo badannya di Bali, serta banyak artist tattoo yang menang dalam kontes tattoo di dalam maupun luar negeri. (Kapten/2005)

Senin, 18 Mei 2009

Hanya Teri yang Tersisa

Ketika Bom meluluh lantakkan Kuta 12 Oktober 2004, masyarakat Bali hanya dapat merenungi nasib. Semuanya berserah kepada kemurahan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena masyarakat Bali percaya bencana ini terjadi juga seijinNya. Menyikapi bencana Bom, sepinya turist dan proses penangkapan terrorist , semuanya berserah ke atas. Segala bentuk upacara dilakukan sebagai permohonan maaf atas segala kekhilafan dan mohon jalan yang terang.

Perilaku masyarakat Bali saat itu dikagumi masyarakat dunia. Simpati dan pujian berdatangan, walaupun bantuan itu banyak juga yang tercecer oleh segelintir orang, biarlah dia yang menerima karmanya. Masyarakat Bali ikhlas. Rasa itu membuat turis tetap mengunjungi Bali, sehingga tahun ini Bali sudah menerima kedatangan turis yang lebih baik jumlahnya kalau dibandingkan dengan masa sebelum Bom.

Turis datang, dolar bergelimang. Demikian seharusnya yang terjadi, namun banyak pedagang souvenir atau pelaku bisnis pariwisata lokal yang mengeluh tentang sepinya bisnis pariwisata Bali. “Sepi,Pak !” demikian ujar seorang pedagang di daerah Tanah Lot dan juga komentar sopir travel, ketika ditanyakan keadaan tamu yang berbelanja.

“Mungkin sampai dua puluh tahun lagi Bali tidak kehabisan kamar hotel” ujar seorang pegawai travel di Denpasar. “Bali sudah sesak dengan pembangunan hotel, restaurant dan juga villa yang sangat menjamur. Pemilik semua usaha yang ada di Bali ini hampir 80 % adalah milik pemodal luar” Lalu apa yang tersisa untuk orang Bali ? Hotel-hotel juga mulai pintar untuk membuat tamu mereka betah tinggal di dalam lingkungan hotel dan menghabiskan uang mereka di hotel. Semua sarana dan prasarana ada di dalam Hotel atau paling tidak dapat dilakukan dari dalam hotel, sehingga tamu tidak lagi perlu keluar. Tidak hanya itu, jasa pembantu yang siap melayani tamu selama mereka libur, juga sudah tersedia. Meliputi pembersihan kamar, mencuci pakaian, berbelanja ke supermarket dan membuat makanan sesuai yang diinginkan selama tamu itu berlibur di Bali.

“Orang Bali itu rendah daya juang atau niat untuk berkompetisi, mereka cepat merasa cukup” ujar seorang teman di suatu kesempatan. Hal ini mungkin ada benarnya, karena sampai sekarang orang Bali yang mencapai tingkat GM (General Manager) di hotel bintang lima atau level atas pelaku bisnis besar di Bali jumlahnya masih dapat dihitung jari tangan. Orang Bali masih senang duduk berlama-lama sebagai Bell Boy, karena pekerjaannya mudah dan dapat komisi, apalagi kalau punya rent car, rasanya sudah cukup dan tidak perlu berjuang untuk jabatan atau karier yang lebih tinggi. Jabatan tinggi, hasil juga besar . Posisi atas yang masih lowong ini tentu akan diisi oleh mereka yang datang dari luar Bali.

“Susah untuk berkompetisi, karena tidak ada kesempatan” ujar Made Wijaya seorang tour operator. , Made memberikan sebuah ilustrasi, pernah mendengar bisnis tukar kepala? Hal ini terjadi pada tamu Taiwan. Mereka datang berombongan, biasanya para guide taiwan membeli tamunya dari travel agent berdasarkan jumlah kepala. Tentu saja guide juga tidak mau rugi, guide akan menarik untung sebanyak-banyaknya, mulai dari harga kamar yang sangat murah, guide akan meminta mereka untuk menukarkan uang mereka di atas bus, makan akan di ajak di restaurant yang memberikan banyak komisi, guide akan menjual souvenir di atas bus, semua dilakukan oleh guide mereka. Tamu Taiwan sangat patuh kepada pemimpin mereka. Sampai bayar karcis atau sewa selendang guidenya terkadang pura-pura berpakaian dan bersikap seperti tamunya, sehingga bisa gratis.Terkadang mereka harus berbelanja di super market, hanya untuk mengganti minuman kaleng yang semalam di minum di hotel. Ada lagi cerita miring yang mengatakan bahwa ada guide yang menyelenggarakan tari telanjang dengan menggunakan kamar hotel dan para tamu yang berminat dikenakan pungutan. Katakan kalau tamunya tidak puas atau berkesan jelek terhadap Bali, itu bukanlah urusan mereka karena mereka bukan orang Bali. Ada sisi negatif tentu ada positipnya, paling tidak dapat jumlah angka turis ke Bali menjadi bertambah.

Hal yang serupa terjadi pada turis Jepang, pelaku utamanya adalah agen perjalanan raksasa Jepang yang beroperasi di Bali ada juga orang jepang yang tinggal di Bali atau yang kawin dengan orang Bali. Mereka bertindak sebagai travel agent dan menjualnya melalui internet. Demikian pula dengan bule-bule yang datang dan tinggal di Bali, mereka datang dengan visa turis, namun melakukan bisnis besar di Bali. . Bisnis seperti ini memang susah untuk dikontrol akibat permainan petugas yang berwenang dan tidak ada yang mau mengontrolnya. namun untuk jangka panjang yang sangat dirugikan adalah masyarakat Bali itu sendiri. Mungkin dalam jangka waktu yang tidak lama lagi jumlah turis sudah sangat berkurang, karena Bali memang sudah tidak menarik untuk dikunjungi atau sudah tidak layak lagi sebagai daerah tujuan wisata.

“Kalau tangkapan mau baik, tentu umpannya juga baik. Ingin menangkap bule, pakailah bule. Kalau ingin menangkap Jepang ya pakailah Jepang” begitu ujar seorang teman bisnis di Kuta. Secara bisnis hal seperti ini sangat baik dan nyata hasilnya, tetapi secara moral, apakah wajar orang Bali yang memiliki dan menjaga Bali hanya dapat ampasnya saja? Sementara orang lain hanya kencing saja di pulau tercinta ini. (Kapten/2005).

Aku Melihat Leak

Leak adalah mahluk yang masih ditakutkan di Bali. Aku orang yang sulit percaya tentang leak, akhirnya melihat dengan mataku sendiri proses pengleakan di kuburan dan mencoba untuk menggali ilmu leak lebih dalam

Pulau Bali sangat terkenal sebagai Pulau yang magis. Di Bali kalau menyebut kata Leak, hampir semua orang faham dengan apa yang dimaksudkan. Pikiran akan mengarah terhadap seseorang atau suatu perbuatan yang dilakukan orang dan akan merugikan orang lain. Hebatnya lagi perbuatan jahat ini sangat sulit untuk dibuktikan, sehingga seseorang tidak dapat dituntut karena telah melakukan perbuatan yang merugikan dengan ilmu leaknya.

Orang sering menyampaikan kalau anggota keluarga mereka meninggal akibat leak atau suami yang dulunya garang, tiba-tiba menurut terhadap istrinya itu juga karena pengaruh leak. Dua saudara yang hidup dalam satu natah (halaman) sudah lama tidak berkomunikasi akibat ada kecurigaan istri saudaranya bisa ngeleak. Sehingga kerukunan keluarga atau kerukunan keturunannya dianggap tidak penting lagi, hanya karena kecurigaan memiliki ilmu leak. Hebohnya lagi ada orang dibantai hingga meninggal akibat dikeroyok orang sekampung, hanya karena dicurigai memiliki ilmu leak.

Apakah leak itu memang ada? Kalau memang eksis, seperti apakah bentuknya? Kenapa sangat menakutkan? Menurut cerita orang leak dapat berubah wujud dari bentuk binatang, hingga terkadang dapat berubah menjadi bentuk pesawat terbang, bahkan helikopter. Kalau memang sehebat seperti yang diceritakan orang, kenapa orang Bali tidak membuat pasukan siluman saja? Amerika mungkin menjadi gentar dengan kecanggihan laskar leak Bali.

Beberapa tahun yang lalu di Bali pernah heboh dengan issu ‘Leak Mepalu’ artinya leak bertempur di pantai Sanur. Hampir seluruh masyarakat Denpasar pada malam hari datang ke pantai Sanur untuk menyaksikan pertempuran ini. Cerita yang beredar mengatakan bahwa ada yang berbentuk bola api, berbentuk burung Garuda, bentuk bade orang meninggal dan berbentuk helikopter yang mampu landing di atas pohon kelapa. Mereka bertempur mengadukan kesaktian mereka di atas air laut Sanur. Konon pertempuran ini dapat disaksikan dengan amat jelas. Seluruh perjalanan pertempuran itu detailnya dapat dilihat dengan sangat jelas, termasuk rintihan leak yang mengalami kekalahan. Banyak bangkai leak dapat disaksikan, karena langit yang biasanya gelap, malam itu terang akibat api (ndih) leak yang banyak berterbangan di udara. Cerita yang sangat menghebohkan itu membuat orang seluruh Bali berdatangan ke pantai Sanur, menanti perang leak hingga pagi hari hampir selama seminggu, namun ternyata leak yang akan bertempur berhalangan hadir.

Kelestarian cerita leak di Bali tidak terlepas dari kesenian rakyat Bali yang masih sering dipentaskan yakni ‘Calonarang’ Alur cerita calonarang selalu menceritakan asal muasalnya ilmu leak dari jaman kerajaan Kediri, dari sebuah desa pesisir yang disebut Desa Dirah.

Konon di desa ini pernah hidup seorang janda dengan anak tunggalnya seorang wanita. Karena persoalan hidupnya yang sangat berat atau mungkin karena persoalan cinta, sakit hati ditinggal lelaki, sehingga dia menjanda, maka wanita ini bertapa di tempat yang sunyi, agar diberikan kekuatan yang maha dahsyat. Ilmu yang ampuh ini akan dapat menundukkan segala ilmu yang ada di bumi ini. Pada jaman itu ilmu kesaktian hanya dikuasai oleh pihak lelaki. Mungkin karena ketabahan dan kesungguhannya memohon, para Dewa akhirnya mengabulkan permohonannya, maka janda itu menjadi wanita yang sakti tak tertandingi dan orang memanggilnya ‘Rangda Naten Dirah’ atau Janda dari Dirah.

Dalam tarian calonarang di tunjukkan Rangda Naten Dirah memiliki seorang anak perempuan yang telah tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik yang diberi nama ‘Dirah Ratna Menggali’. Gadis cantik yang tumbuh semakin dewasa, namun anehnya tidak ada cowok yang berani mendekat, naksir atau melamarnya. Hal ini sebenarnya wajar saja, ibunya sangat sakti dengan pengawalnya yang serem dan sakti, cowok normal pasti ciutlah nyalinya. Jangankan berkenalan, noleh saja sedapat mungkin harus dihindari. Bagaimana jadinya kalau pas ngelirik bertemu dengan pandangan ibunya? Konon sinar api panas bisa langsung keluar dari mata ibunya dan membakar tubuh atau apapun yang dipandangnya.

Ketidak hadiran cowok di sisi anak gadisnya yang cantik jelita, membuat Rangda Naten Dirah gulau hatinya. Kebenciannya dan sakit hatinya kepada lelaki semakin memuncak. Ternyata lelaki di dunia ini semua sama, hanya bisa membuat sakit hati wanita saja. Rangda Naten Dirah dengan kesaktiannya membuat wabah penyakit, dia ingin memusnahkan semua lelaki, keluarga dan keturunannya. Akibatnya hampir setiap hari orang-orang berbondong menggotong mayat kekuburan. Mayat yang meninggal karena sakit.

Raja Erlangga yang memerintah Kediri pada waktu itu sangat sedih dengan wabah penyakit di seluruh negeri. Raja memerintahkan Empu Bharadah untuk mengatasi persoalan wabah penyakit yang mematikan ini dengan segera. Sang Empu berpikir keras untuk mencari pokok persoalan dan mencari solusinya. Setelah dikumpulkan data dari lapangan, akhirnya Sang Empu menyimpulkan kalau persoalan ini adalah soal cinta semata yang kemudian menumbuhkan dendam seorang wanita sakti yang kalau diukur kesaktiannya Sang Empu masih kalah jauh.

Dari pada bertempur secara frontal yang pasti akan mengalami kekalahan, Sang Empu Bharadah memakai siasat untuk memenangkan pertempuran ini. Sang Empu mengutus anaknya yang cukup ganteng dan dibekali banyak ilmu untuk mendekati dan merayu Ratna Menggali. Misinya adalah membuat Ratna Menggali jatuh cinta dan bersedia untuk dijadikan istrinya. Setelah menjadi istrinya dengan segala usaha harus menggali informasi melalui Ratna Menggali, mencari tahu dimana letak titik lemah kesaktian ibunya. Ternyata strategi ini berhasil, Rangda Naten Dirah terbunuh,

Dalam tarian calonarang, sebelum terbunuh Rangda Naten Dirah mengeluarkan seluruh kesaktiannya, Pemain akan kesurupan dan mulai untuk menghunus keris mereka dan menghujamkan keris itu ketubuh penari Rangda. Setelah keris dihujamkan berkali-kali, Si Rangda ternyata masih hidup. Kesaktian Sang Empu berubah menjadi Barong. Namun tidak ada yang kalah dan menang dalam pertarungan ini, karena Rangda Nata Dirah ingin anaknya berbahagia, maka dia mohon doa Sang Empu untuk menghantarkannya ke kehidupan di dunia lain. Rangda Nata Dirah akhirnya musnah, dengan kekuatan doa Sang Empu diharapkan dalam kelahirannya kembali akan dapat meningkatkan kehidupannya menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Aku masih berpendapat kalau cerita leak di Bali itu hanyalah sebuah mitos yang dibesar-besarkan dan diceritakan dengan banyak variasi cerita, sehingga menjadi menyeramkan dan memancing orang untuk selalu ingin mendengarkan, karena versi dan variasi ceritanya selalu berbeda. Kalau yang bercerita ditanyakan lebih dalam “Apakah kamu pernah bertemu dengan leak?” Jawaban yang diberikan lebih banyak berupa karangan dan ilusi pengarangnya saja. Kenyataannya sampai sekarang aku belum pernah bertemu dengan leak. Belum pernah mendengar orang mati karena digigit atau dimakan leak dan belum pernah melihat mayat atau bangkai leak.

Ayahku menderita penyakit kencing manis. Suatu hari kondisi beliau sangat parah. Pengobatan kedokteran modern yang dia jalani selama ini tidak menunjukkan hasil yang baik, hingga suatu hari ada rekan yang menyarankan untuk berobat secara Bali atau pengobatan alternatif. Dalam kondisi untuk tidak memilih, sebagai anak aku menerima segala saran yang diberikan , sejauh itu menjanjikan kesembuhan ayahku. Beberapa dukun, balian dan paranormal dari segala penjuru, aliran, agama aku coba, namun semua belum memperlihatkan hasil. Suatu hari aku bertemu dengan Mangku Teja, beliau dengan rendah hati menjelaskan akan mencoba untuk menolong dan menjelaskan kalau beliau melakukan pengobatan dengan dasar ilmu hitam, pengiwa atau lebih dikenal dengan ilmu pengleakan. Aku pikir, siapa tahu kalau ini memang buatan leak, tentu Bapa Mangku akan dapat mengatasinya.

Selain sisi pengobatan yang harus dijalankan, akupun di ajak memohon kepada Tuhan untuk kesembuhan ayahku. Hanya jalan permohonan yang di tempuh oleh Bapa Mangku adalah melalui Pura Mrajapati. Artinya pura yang terletak di areal kuburan, di tengah malam dan pasti akan mampir ke kuburannya. Demi kesembuhan ayahku, akupun mengikuti ritual upacara ini. Malam itu aku melihat Mangku Teja Ngeleak tepat di sampingku, karena hanya kami berdua di deretan paling depan. Sementara itu di depanku sesajen yang diletakkan di atas tanah kuburan yang baru semalam di tanam dan di belakang kami beberapa orang penduduk desa yang tahu kedatangan kami dan ikut menyaksikannya.

Malam itu suasana sangat hening, suara binatang malam kuburan sangat jelas terdengar. Lolongan anjing dan suara burung malam tak ketinggalan. Langit malam itu sangat cerah, bertaburan banyak bintang tanpa bulan. Ada yang mengganggu pikiranku. Disekitar pohon dikuburan beberapa sinar biru berterbangan dari satu pohon ke pohon yang lainnya. Sinar biru melesat dengan cepat, lalu hilang, Aku penasaran sinar apa itu? Jelas bukan kunang-kunang karena setinggi pohon kelapa, jelas terlihat berarti ukurannya lebih besar dan bergerak cepat. Ada sekitar tiga buah menari-nari dengan arah ke samping, lalu menghilang. Karena belum yakin, pengalamanku malam itu aku simpan sendiri hingga hampir 20 tahun kemudian aku kembali bertemu dengan Bapa Mangku Teja di kediaman beliau di Bangli.

Mangku Teja menyambutku dengan ramah dan akrab. Beliau masih mengingatku dengan baik. Kebetulan kedatanganku ditemani oleh crew dari SCTV yang akan meliput kegiatan Mangku Teja, termasuk kemampuannya untuk ngeleak. Setelah kegiatan itu disetujui, akupun bertanya lebih dalam tentang leak.

“Bapa Mangku, bagaimana cara belajar ilmu leak?”

“Ilmu leak dapat dipelajari dengan mengenal sastra dan karena jaman sekarang orang pengen mudah dan cepat, dapat pula di transfer secara instant” Ujar Mangku Teja.

“Secara Instant? Maksud, bapa?”

“Dengan sesajen dan beberapa pesyaratan lainnya, nanti Bapa mohonkan kehadapan yang kuasa, kalau dikabulkan nanti akan diberikan tanda keberhasilan dan kalau gagal tidak ada tanda”

“Memangnya tandanya seperti apa, Bapa?” Desakku pula.

“Banyak macamnya, Bapa sulit untuk menjelaskannya karena masing-masing orang akan berbeda” Jelas Mangku.

Aku tidak berani untuk mendesak lebih dalam, namun menurut cerita orang, kalau ritual ini berhasil maka dari mulut orang itu akan mengeluarkan sinar api. Ritual seperti ini dilakukan di kuburan ditengah malam.

“Bagaimana dengan mereka yang belajar aksara atau dengan membaca lontar, apakah akan mengalami proses yang sama?”

“Begini, Leak itu sendiri sebenarnya berarti menghidupkan aksara di dalam tubuh. Atau dapat dikatakan menghidupkan cakra di dalam tubuh dengan aksara. Ketika aksara sudah hidup termasuk saudara empat yang kita ajak lahir, maka akan terpancar cahaya yang kita sebut dengan aura. Cahaya ini dapat dikeluarkan melalui segala lobang yang ada di badan manusia dan demikian pula sebaliknya”

“Jadi kalau orang mau ngeleak, harus menghidupkan mesinnya terlebih dahulu?” Tanyaku lagi.

“Boleh dikatakan seperti itu. Dia harus mampu menghidupkan aksaranya, lalu terserah mereka mau dibawa kemana. Kalau mau dikeluarkan dari tubuh dapat melalui lobang kepala atau mulut, lalu meninggalkan tubuh”.

“Lalu pergi kemana?”

“Terserah mereka mau kemana dikegelapan malam. Dalam pelepasan roh itu orang akan mengalami sensasi indah yang berbeda dan dalam kegelapan itu banyak keramaian karena akan bertemu dengan teman-teman lain yang mempunyai tujuan yang sama”.

“Apakah dapat terjadi benturan antar sesama anggota?”

“Sering seperti itu atau harus memenuhi janji bertempur karena kita berani mengobati seseorang yang mungkin saja yang dia inginkan untuk tetap sakit atau mati. Biasanya tidak ada jalan lain, selain harus dihadapi dan diselesaikan. Kalau yang kalah mereka akan diberikan opsi sesuai dengan luka yang diderita. Apakah nyawanya mau dicabut saat itu atau mohon pengampunan dengan batas waktu yang disetujui atau tunduk untuk menjadi budak dan melayani majikan” Ujar Mangku Teja lebih jauh.

Masyarakat Bali sangat faham dan sering melihat adanya sinar atau dalam bahasa Bali disebut ‘ndih’ yang bertempur di udara. Atau mendengar seseorang yang sakit atau mati mendadak, padahal dia dikenal sakti dan menguasai ilmu leak.

“Jadi, ilmu leak itu sebenarnya Apa?”

“Begini, Ilmu leak itu sebenarnya ilmu untuk mencari jalan mencapai sorga atau kalau bisa moksa. Kalau Bapa meninggal nanti, Bapa ingin roh Bapa itu dapat menyatu dengan Sang Pencipta”.

“Hah...?? Jalan menuju Sorga? Bukankah leak itu jahat? Semua orang pasti setuju kalau yang jahat itu tempatnya di neraka”. Ujarku memastikan.

“Disinilah kesalahan pengertian banyak orang”. Ujar Mangku Teja datar.

“Jadi Bapa tidak takut menyandang predikat sebagai orang yang bisa ngeleak dan dianggap sebagai tokoh leak?”

“Bapa tidak pernah takut kalau dalam kebenaran. Bapa menolong orang yang dalam kesusahan, Bapa menjadi anggota masyarakat yang baik, Bapa memberikan ilmu bagi yang ingin belajar, termasuk mendirikan sekolah seni untuk anak-anak yang mau belajar kesenian secara gratis dan semuanya Bapa lakukan dengan swadaya dan senang hati.”

“Tujuannya untuk apa?”

“Dalam usia yang sudah semakin tua, Bapa ingin memberikan semua yang Bapa miliki. Terutama kepada generasi muda agar mereka bisa berkesenian, menari, menabuh dan juga menulis aksara Bali yang sudah mulai langka. Semoga mereka menjadi generasi yang dapat menghargai kesenian leluhur mereka”.

Mangku Teja memang dikenal sebagai penari Rangda yang selalu menantang dalam Calonarang. Dalam setiap pemantasannya selalu mengundang mereka yang mau beradu ilmu pengleakan untuk hadir dan mencoba kekuatan ilmu mereka di atas panggung atau dimanapun, sehingga leak nakal tidak mengganggu masyarakat atau orang yang tidak bersalah.

“Apakah itu tidak mengandung resiko?” Tanyaku lagi.

“Selama ini Bapa senang untuk meladeni tantangan”.Ujarnya kalem.

“Apakah hanya tantangan ngeleak saja?”.

“Waktu ini ada yang lucu dari tamu Jepang. Dia datang kemari ditemani dengan guidenya untuk beradu ilmu tenaga dalam. Konon katanya dia sudah keliling dunia, namun belum ketemu lawan yang seimbang. Bapa tidak boleh sombong, namun Bapa ladeni pula tantangannya dengan taruhan. Dia memberikan taruhan sejumlah uang, karena Bapa tidak punya uang, nyawa Bapa taruhkan”.

“Bagaimana dengan jalannya pertarungan?” Desakku pula.

“Buktinya Bapa masih hidup. Sampai sekarang kami kenal baik dan dia sering mengirim rombongan dari Jepang untuk belajar ke gubuk Bapa”.

“Kenapa leak tetap dianggap jahat dan menyusahkan orang?” Tanyaku lagi.

“Ilmu leak sebenarnya sama kalau diumpamakan sebagai sebuah pisau. Karena sebagai sebuah ilmu, dapat dipergunakan untuk hal yang negatip dan positip. Tergantung dari si pemegang pisau itu sendiri tingkat kemampuan dan pengetahuannya. Mau dibawa kemana pisau itu.”

“Apakah dalam ilmu leak ada tingkatannya?”

“Sama seperti sekolah ada tingkatannya dan ada ujiannya. Kalau mereka yang baru bisa atau baru mengenal ilmu pengiwa (kiri), ini yang biasanya usil (ugig), karena selalu ingin mencoba kehebatan ilmunya”.

“Apa sangsinya mereka yang ugig itu, apakah tidak ada yang mengawasi atau mengontrol mereka?”

“Kalau mereka bertemu Bapa, biasanya Bapa habisi biar tidak banyak cerita lagi.” Ujar Mangku Teja santai.

Dalam dunia pengleakan dikenal adanya tingkatan ilmu. Kebanyakan mereka yang baru belajar ilmu pengleakan yang sering bertingkah dan membuat penyakit. Dalam sensasi atau ketika berubah menjadi sinar (ndih) atau bentuk apapun sesuai tingkat keilmuan mereka, mereka sering saling memakan atau bertempur antara satu dengan yang lainnya untuk syarat kenaikan tingkat keilmuannya.

Malam yang telah ditentukan tiba, beberapa teman yang ingin menyaksikan dan crew dari SCTV sudah siap. Sesajen yang akan dihaturkan juga sudah terlihat tersusun rapi. Kami hanya menunggu waktu, agar malam semakin larut. Kebetulan malam ini lokasi acara di kuburan Desa Adat Bambang, yakni tidak beberapa jauh dari rumah Mangku Teja.

Kami membawa segala persiapan ke kuburan. Tanah kuburan posisinya cukup tinggi dan dibawah terlihat jalan raya yang sudah sepi, namun sinar lampu jalanan masih mampu menerobos areal kuburan. Tidak beberapa lama lampu mati, ini berarti seluruh kampung menjadi gelap gulita. Mataku mencoba beradaptasi dengan gelap, namun hanya mampu melihat dengan jarak satu meter. Mangku Teja berjarak sekitar 20 meter dari kami. Dalam gelap banyak orang merangkak ikut menjadi penonton, sepertinya semua penduduk desa tahu kalau malam ini akan ada atraksi.

Untung ada cukup banyak kamera video yang dibawa penonton, kamera canggih yang dibawa crew SCTV yang sangat kami harapkan, tiba-tiba macet. Kami berjuang untuk dapat merekam atraksi malam itu sebaik mungkin dengan nightshoot.

Mangku Teja mengambil posisi berdiri. Dibawahnya seorang murid yang akan di baptis dan di depannya segala sesajen yang diperlukan. Mangku Teja mulai komat-kamit membaca mantra, setelah sekian lama suaranya mulai berubah menjadi merengkeh-rengkeh, sekali-kali menjerit, membuat suasana semakin mencekam. Tak lama kemudian terdengar cicitan anak ayam yang sepertinya telah tergenggam ditangannya, kemudian anak ayam menjerit lalu hilang suaranya. Anak ayam mati terkoyak tercabik giginya, lalu ditelannya mentah-mentah.

Badan Mangku Teja terlihat semakin tinggi, dia sepertinya berdiri di atas kepala muridnya, kemudian terlihat sinar keluar dari kedua matanya, sehingga raut muka sedikit jelas. Inilah proses perubahan tubuh atau yang dikenal dengan istilah ‘ngelekas’ atau ‘Ngereh’ , Perubahan wajah menjadi bentuk yang lain. Malam ini sepertinya akan berubah menjadi ‘Rangda’ atau Sang Hyang Bairawi, Perubahan tertinggi dalam tingkatan pengleakan. Hal ini dapat terlihat dari matanya yang melotot dan berapi, Suaranya yang sangat khas dan mungkin inilah masa keindahan sensasi yang dialami oleh orang yang sedang proses ‘Ngerehin’ yaitu saat akan berubah wujud. Api tetap bersinar dari mata, kemudian lidahnya mulai memanjang. Bergoyang kekiri-kekanan seolah ingin menyapu kepala muridnya, gigi taringnya memanjang dan kemudian kembali suaranya merekeh-rekeh, menjerit dan semakin pelan. Beberapa saat kepalanya kembali berputar dan naik turun, Api di mukanya terang-redup dan tak lama kemudian menghilang. Setelah itu gelap kembali, namun Bapa masih terdengar sibuk komat-kamit membaca mantra. Dalam pikiranku mungkin sedang sibuk dalam prosesmengembalikan wajah semula. Semua penonton terdengar menarik nafas lega. Terdengar seperti lepas dari sebuah ketegangan, namun malam masih terasa mencekam. (Kapten/2009).

Bali Yang Terlena

Dahulu kala pernah ada cerita bahwa kalau ada barang yang tertinggal di Bali, setelah tiga hari ternyata barang itu masih tetap berada ditempatnya tanpa ada kekurangan apapun. Cerita itu mungkin terakhir terjadi sekitar dua puluh tahun silam, tidak begitu lama. Ada seorang kakek bercerita bahwa ketika dia pulang ke jawa, sering dia meninggalkan sepedanya di stasiun Ubung selama dua hari, ketika kembali sepeda itu masih utuh.

Seminggu lalu ada seorang teman yang bercerita ketinggalan HP di sebuah toko, tidak sampai lima menit kembali ternyata HP nya sudah tidak jelas berada di mana. Ketika dihubungi ada yang menjawab bahwa HP itu baru di beli dan dalam beberapa hari masih dipakai dengan nomer yang sama, berhubung masih ada pulsa.

Kemanakah manusia Bali yang jujur dan santun? Apakah yang maling itu monopoli manusia luar Bali? Apa yang terjadi dengan tanah Bali? Bagaimana dengan Bali sepuluh atau lima puluh bahkan seratus tahun lagi? Mungkin masih banyak pertanyaan lain sebelum kita menanyakan siapakah yang seharusnya bertanggung jawab atas semua ini?

Ada yang mengatakan Bali itu bagaikan gula, dimana ada gula disitu ada semut. Kalau Bali diserbu darisegala penjuru adalah wajar. Karena disinilah sumber kehidupan. Asal mau kerja pasti hidup di Bali, syukur kalau sampai bisa beli tanah dan bangun rumah mewah. Slogan seperti ini sering diucapkan sebagai semangat kerja, makanya penduduk pendatang terlihat sangat serius menekuni pekerjaan mereka.

Manusia Bali masih sangat disibukkan kehidupan sosial “Menyama Braya” dan “Upacara Adat” yang harus tetap dipertahankan, karena merupakan “Core” dari Bali itu sendiri. Di sisi lainnya masyarakat Bali sangat konsumtif dan memiliki gengsi yang sangat besar

Mobil rata-rata mewah, motor tidak ada yang tua, rumah rata-rata bagus, kebaya rata-rata berkelas dan sekarang mencari sekolahpun harus yang terbaik atau langsung ke luar negeri.

Penduduk pendatang semakin lama semakin banyak yang datang, Bali terasa semakin menyesakkan. Warung Muslim berserakan, Nasi Padang tersedia sepanjang hari, tukang sol sepatu dan dagang bakso, burger, es krim, sate semakin sering terdengar lewat di depan rumah. Pedagang kaki lima penuh di lapangan Puputan, pedagang es kelapa muda di Renon, tukang bangunan berserakan, tukang angkut pasir berjejer di pojok jalan, cewek kafe dan karaoke, belum lagi tempat pelacuran di Sanur atau yang berkeliaran di Kuta, Sari Laut di seluruh pinggir jalan ramai di kota hingga sampai ke desa-desa. Pokoknya semua ada dan dimana-mana.

Manusia Bali juga sibuk “mejejaitan” untuk kebutuhan sehari-hari, apalagi kalau ada odalan. Padahal janur, ayam, buah, roti, dupa, bunga semuanya di datangkan dari Jawa, bahkan lebih ironis lagi canangpun sudah dibuat oleh orang luar Bali.

Ketika malam tiba, perlu hiburan lain selain nonton TV. CafĂ©, diskotik dan karaoke adalah pilihan dan pilihan ini ternyata menyenangkan, sehingga sekali berkunjung tidaklah cukup. Hiburan yang paling murah duduk sambil makan nasi “jinggo” sambil ngobrol dengan pedagangnya, ternyata nasi itupun buatan orang luar.

Menutupi segala ongkos kebutuhan jaman dan gengsinya, manusia Bali memandang perlu untuk menjual sebidang tanah leluhurnya. Hotel dan Villa bermunculan dimana-mana, ternyata pemiliknya penduduk pendatang. Toko sepanjang Kuta dan Legian ternyata pemiliknya tidak jauh berbeda. Ubud, Canggu, Jimbaran mungkin mempunyai duka yang sama. Di Kota ruko berserakan, pusat perbelanjaan raksasa di buka, pameran tetap sepanjang hayat, perumahan baru dibangun dimana-mana, toh pemilik dan penghuninya bukan manusia Bali.

Manusia Bali ternyata masih terlena, Bali adalah pulau surga, aman dan damai. Serbuan yang dahsyat ke pulau Bali belum mempunyai arti apa-apa. Bom yang meledak di Kuta belum mampu untuk membangunkan untuk “Eling”. Ketika beberapa hotel dan perusahaan di Bali sudah keterlaluan untuk tidak menerima manusia Bali bekerja diperusahaannya, karena takut banyak libur upacara, kitapun masih terlena.

Pemerintah Bali masih sibuk dengan slogan pembodohan. Bali dengan pariwisata budaya, kota berbudaya dan yang terbaru adalah slogan “Ajeg Bali”. Tata ruang berhamburan, tata kota berserakan, arsitektur Bali semakin tak jelas, Tri Hita Karana Award membingungkan, belum lagi pembongkaran jalan yang membabi buta dengan alasan pembangunan yang mungkin saja dalam lima tahun lagi sudah tak terpakai . Satu pihak Pemerintah pusat menggulingkan “Penghematan” sementara di Bali kemacetan dimana-mana.

Karakter manusia Bali kalau seorang diri adalah “Polos dan Santun” tetapi kalau sudah beramai-ramai akan menjadi lain. Manusia Bali adalah “Penyabar” dan sangat “Toleran”

Tetapi ketika Bali di “Serbu” akankah kita biarkan tercabik-cabik hingga sepuluh tahun lagi sudah tidak ada sisa, karena kita ternyata masih terlena? (Kapten/2005)

Sabtu, 16 Mei 2009

Berikut ini adalah keluarga besarku, istri dan anak-anak tercintaku :

Jumat, 15 Mei 2009

Aku Kapten Agung

Perkenalkan namaku Agung putra Bali yang lebih dikenal dengan panggilan Kapten Agung, meski bukan seorang angkatan tapi aku bangga dengan panggilan itu. Aku seorang penyuka seni dan tentunya aku cukup bangga dengan bumiku yang kaya akan budayanya itu sendiri. Siapa yang tidak tahu akan bumiku...?!

Orang luar negeri saja lebih tahu bumiku daripada negaraku sendiri.... ha..ha..ha.. anekdot lama, tapi itu benar adanya. Banyak hal yang ingin saya ceritakan disini, tapi untuk saat ini biarlah cukup seperti ini saja, dan yang jelas akan banyak hal yang akan saya sampaikan disini.

Aku Kapten Agung !