Minggu, 14 Juni 2009

Guide Liar

Guide liar selalu dipersoalkan, namun kenyataannya di lapangan tidak ada perbedaan bagi mereka yang resmi ataupun liar, semua sama, semua bertujuan untuk mendapatkan satu hal yakni komisi
____________________________________________________

Pemandu wisata (Guide) sangat penting peranannya dalam perkembangan pariwisata di Bali. Pemda Bali telah berusaha memberikan rambu – rambu agar pemandu wisata dapat tertib dan qualified dalam memberikan informasi kepada wisatawan. Dapat memberikan informasi yang benar tentang Bali dan dapat berperan aktip untuk menjaga dunia pariwisata Bali.
Pada awalnya Pemda Bali telah membentuk organisasi pemandu wisata, yakni Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI), melalui organisasi ini diberikan penataran dan pembinaan, serta diberikan kartu tanda anggota sebagai bukti telah lulus segala pesyaratan sebagai pemandu wisata. Sweeping sering diadakan di daerah tujuan wisata, namun terakhir ini peranan organisasi dan sweeping untuk pemandu liar sudah tidak pernah terdengar lagi. “Punya atau tidak kartu guide, sama saja” Ujar Nyoman Antara, seorang pemandu wisata yang tergolong senior. Dia juga mengatakan kalau organisasi pramuwisata tidak banyak berperan, malah ricuh akibat keserakahan pengurusnya. “UUD, Ujung-Ujungnya Duit, untuk apa lagi banyak berteori” Kilah Nyoman Antara.
Memang kenyataannya pemandu liar yang tertangkap, hanya dikenakan denda uang dan kemudian mereka beroperasi kembali. Konon Sweeping tidak dapat dilakukan secara berkelanjutan, sebab membutuhkan biaya besar, jadi yang liar atau yang resmi tidak ada bedanya, semua berebut mencari hidup. Perjuangan yang ada adalah perjuangan untuk mendapatkan tamu, kemudian menawarkan mereka segala fasilitas wisata dan berharap mendapatkan komisi yang besar. Sebagai pemandu wisata komisi itulah yang abadi, entah didapatkan dengan tanda liar ataupun resmi, yang pasti uang tamu harus di kuras habis.
Menurut pengakuan Nyoman Antara, banyak pemandu wisata travel besar yang tidak tahu tentang budaya Bali, namun mereka memiliki kartu guiding. Sebagai contoh, Lihat saja seberapa banyak pemandu wisata turis Taiwan yang tahu Bali? Seberapa besar sih kepedulian mereka terhadap pariwisata Bali? Berbahasa Indonesia saja tidak becus, apalagi kalau mereka berpakaian adat, kadang terlihat lucu. Namun tidak ada koreksi ataupun teguran untuk mereka dari instansi terkait. Belum lagi pemandu wisata yang mendapatkan tamu di jalanan atau di pantai, Dari segi penampilan sudah sangat tidak mencerminkan Bali, kita mau bilang apa? Apalah artinya sebuah kartu pemandu wisata yang terpajang di dada, kalau tanpa itupun dapat menjalankan bisnis dengan tenang.
Sekarang banyak juga pemandu wisata yang dilakukan oleh tenaga asing yang tinggal di Bali dengan visa turis. Artinya berdasarkan hukum yang berlaku, mereka tidak dibenarkan melakukan aktivitas bisnis. Kenyataannya mereka tetap menggaruk dollar di Bali, menggaruk porsi makan orang Bali. Alasan mereka adalah menghantarkan teman atau kerabat mereka, sebanarnya mereka mendapatkan tamu berdasarkan iklan mereka di internet atau website, lalu mereka melayani bagaikan sebuah travel agent. Kalau keadaan pariwisata Bali terus seperti ini, siapakah yang masih perduli? Kilah Nyoman Antara.
Toleransi orang Bali untuk menerima mereka yang berasal dari luar Bali sebagai pemandu wisata, sudah sangat tinggi. Kalau dapat diberikan istilah, bagaikan makanan yang ada di piring mereka di cokot, orang Bali diam saja. Namanya juga sama-sama cari makan. Kalau kaidah mencari makan sama-sama dihormati, tentu akan baik dan berjangka panjang. Namun suatu saat mungkin piring nasinya di balik alias pariwisata Bali hancur, apakah orang Bali masih tetap tidak perduli? Apakah tidak ada yang berpikir sejauh itu?
Orang Bali sebagai pemandu wisata, walaupun mereka yang tahu betul dengan adat istiadat dan pemilik pulau ini, namun sekarang sudah mulai tersisih. Semakin terbukanya keran pariwisata Bali, semakin beragamnya turis yang datang, semakin tersisih orang Bali. Ironis memang, namun orang Bali sendiri tidak mau meningkatkan kemampuan mereka. Kalau dilihat rata-rata pemandu wisata asli Bali hanya mampu berbahasa Inggris, sebagian sudah merambah bahasa Jepang. Ternyata banyak turis dari Taiwan, Rusia, Cekosloakia dan beberapa negara Eropa yang hanya mengerti bahasa mereka sendiri, apalagi nantinya akan banyak turis Cina yang hadir di Bali. Bagaimana dapat mengharapkan guide resmi orang Bali untuk mengambil peran atau ikut kebagian rejeki?
Orang Bali mau protes? Boleh saja. Yang pasti persaingan bisnis sudah berlangsung, yang kurang profesional akan tersisih. Pemandu wisata Bali katakanlah yang resmi, tentu tidak boleh terus berlindung di ketiak Pemda Bali. Mereka harus bangkit meningkatkan diri atau sumber daya mereka disesuaikan dengan permintaan pasar, sebab persaingan semakin ketat. Katakanlah sebagai contoh, seorang turis selama di Bali dilayani oleh seorang pemandu wisata liar asal Jawa, yang kebetulan bertemu di pantai Kuta. Ternyata sang turis sangat senang, banyak berbelanja dan mengirimkan uang untuk keluarganya pemandu wisata liar itu. Setahun kemudian turis kembali ke Bali dan memesan barang kerajinan untuk hotelnya yang sedang di bangun dan memesan banyak ukiran Jepara untuk bisnisnya. Apakah artinya ilustrasi itu? Artinya orang Bali telah kehilangan peluang emas ! Apakah masih penting arti pemandu wisata resmi atau liar?, Demikian Nyoman Antara terenyuh. (TAKSU/Gung).