Rabu, 20 Mei 2009

Bebotoh Kalah

Hanya wajah lesu yang tampak saat seorang bebotoh (petaruh ayam) kalah. Tidak banyak kata yang di ucap akibat masih memikirkan kekalahan atupun jumlah kekalahan yang terkadang cukup besar. Sudah sering terdengar bahwa seseorang menggadaikan atau menjual barang mereka hanya untuk bertaruh. Sepeda motor, mobil, tanah ataupun rumah adalah hal mudah untuk berpindah. Ada ucapan orang di Bali yang sering mengatakan
“ Tanahnya sudah habis akibat di garuk ayam “.

Bebotoh yang kalah, walaupun sampai habis akan menerima kekalahan itu dengan jiwa besar. Kekalahan adalah suatu resiko dari suatu permainan. Sama halnya dengan pertandingan sepak bola, kalau tidak kalah adalah menang. Begitu pula dengan permainan tajen, ketika kalah tidak saja kehilangan ayam, namun kehilangan uang atau mungkin kehilangan segalanya. Bebotoh yang kalah dalam permainan tajen akan siap menerima akibat kekalahan, sebelum mereka berangkat ke tajen. Adalah sangat umum bebotoh menggunakan banyak kantong untuk menaruh uang mereka, sebagai alat kontrol sebelum mereka berangkat ke arena, seandainyapun kalah bebotoh yang kalah tidak akan melakukan hal yang bersifat kriminal. Mereka akan pasrah akan kekalahan, itulah etika bebotoh di Bali.

Ketika Kapolda Bali dan jajaran kepolisian membubarkan tajen, masyarakat masih menanggapinya dengan dingin, karena kenyataannya masih banyak tajen berlangsung dan masih banyak polisi yang minta cuk (sumbangan) ke arena tajen. Polisi lebih memperketat pelaksanaan pasal 303 tentang judi, bebotoh masih tersenyum, artinya semua bisa diatur, togel juga masih jalan. Namun ketika instruksi Kapolri yang baru dilantik turun, semua kegiatan judi menjadi tertib, termasuk judi di ruangan yang ber AC.

Bebotoh Bali mendatangi kantor wakil rakyat, menuntut diberikan kelonggaran pelaksanaan permainan rakyat yakni tajen. Ditiadakannya tajen membuat Bali terasa mati. Masyarakat kehilangan hiburan, kehilangan pekerjaan dan kehilangan perputaran uang. Dengan demikian tajen dipandang perlu untuk menumbuhkan gairah masyarakat, tajen perlu dihidupkan lagi demi budaya Bali. Tajen perlu di atur kembali, perlu dikemas agar sesuai dengan jaman sekarang, tanpa kehilangan faktor budaya dan rohnya. Bebotoh Bali menuntut kelonggaran artinya kalau kembali ditata dengan baik, tentu ada celah yang longgar untuk kebaikan bersama. “Kami hanya menuntut kelonggaran, bukan menuntut kemerdekaan “ Komentar Made Sirna. “ kalau wakil rakyat tidak memperjuangkannya, itupun sudah resiko, bebotoh kalah adalah biasa “. Ujar beberapa orang yang masih berharap tajen akan di gelar lagi di Bali. (Kapten/2005).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar