Senin, 18 Mei 2009

Bali Yang Terlena

Dahulu kala pernah ada cerita bahwa kalau ada barang yang tertinggal di Bali, setelah tiga hari ternyata barang itu masih tetap berada ditempatnya tanpa ada kekurangan apapun. Cerita itu mungkin terakhir terjadi sekitar dua puluh tahun silam, tidak begitu lama. Ada seorang kakek bercerita bahwa ketika dia pulang ke jawa, sering dia meninggalkan sepedanya di stasiun Ubung selama dua hari, ketika kembali sepeda itu masih utuh.

Seminggu lalu ada seorang teman yang bercerita ketinggalan HP di sebuah toko, tidak sampai lima menit kembali ternyata HP nya sudah tidak jelas berada di mana. Ketika dihubungi ada yang menjawab bahwa HP itu baru di beli dan dalam beberapa hari masih dipakai dengan nomer yang sama, berhubung masih ada pulsa.

Kemanakah manusia Bali yang jujur dan santun? Apakah yang maling itu monopoli manusia luar Bali? Apa yang terjadi dengan tanah Bali? Bagaimana dengan Bali sepuluh atau lima puluh bahkan seratus tahun lagi? Mungkin masih banyak pertanyaan lain sebelum kita menanyakan siapakah yang seharusnya bertanggung jawab atas semua ini?

Ada yang mengatakan Bali itu bagaikan gula, dimana ada gula disitu ada semut. Kalau Bali diserbu darisegala penjuru adalah wajar. Karena disinilah sumber kehidupan. Asal mau kerja pasti hidup di Bali, syukur kalau sampai bisa beli tanah dan bangun rumah mewah. Slogan seperti ini sering diucapkan sebagai semangat kerja, makanya penduduk pendatang terlihat sangat serius menekuni pekerjaan mereka.

Manusia Bali masih sangat disibukkan kehidupan sosial “Menyama Braya” dan “Upacara Adat” yang harus tetap dipertahankan, karena merupakan “Core” dari Bali itu sendiri. Di sisi lainnya masyarakat Bali sangat konsumtif dan memiliki gengsi yang sangat besar

Mobil rata-rata mewah, motor tidak ada yang tua, rumah rata-rata bagus, kebaya rata-rata berkelas dan sekarang mencari sekolahpun harus yang terbaik atau langsung ke luar negeri.

Penduduk pendatang semakin lama semakin banyak yang datang, Bali terasa semakin menyesakkan. Warung Muslim berserakan, Nasi Padang tersedia sepanjang hari, tukang sol sepatu dan dagang bakso, burger, es krim, sate semakin sering terdengar lewat di depan rumah. Pedagang kaki lima penuh di lapangan Puputan, pedagang es kelapa muda di Renon, tukang bangunan berserakan, tukang angkut pasir berjejer di pojok jalan, cewek kafe dan karaoke, belum lagi tempat pelacuran di Sanur atau yang berkeliaran di Kuta, Sari Laut di seluruh pinggir jalan ramai di kota hingga sampai ke desa-desa. Pokoknya semua ada dan dimana-mana.

Manusia Bali juga sibuk “mejejaitan” untuk kebutuhan sehari-hari, apalagi kalau ada odalan. Padahal janur, ayam, buah, roti, dupa, bunga semuanya di datangkan dari Jawa, bahkan lebih ironis lagi canangpun sudah dibuat oleh orang luar Bali.

Ketika malam tiba, perlu hiburan lain selain nonton TV. CafĂ©, diskotik dan karaoke adalah pilihan dan pilihan ini ternyata menyenangkan, sehingga sekali berkunjung tidaklah cukup. Hiburan yang paling murah duduk sambil makan nasi “jinggo” sambil ngobrol dengan pedagangnya, ternyata nasi itupun buatan orang luar.

Menutupi segala ongkos kebutuhan jaman dan gengsinya, manusia Bali memandang perlu untuk menjual sebidang tanah leluhurnya. Hotel dan Villa bermunculan dimana-mana, ternyata pemiliknya penduduk pendatang. Toko sepanjang Kuta dan Legian ternyata pemiliknya tidak jauh berbeda. Ubud, Canggu, Jimbaran mungkin mempunyai duka yang sama. Di Kota ruko berserakan, pusat perbelanjaan raksasa di buka, pameran tetap sepanjang hayat, perumahan baru dibangun dimana-mana, toh pemilik dan penghuninya bukan manusia Bali.

Manusia Bali ternyata masih terlena, Bali adalah pulau surga, aman dan damai. Serbuan yang dahsyat ke pulau Bali belum mempunyai arti apa-apa. Bom yang meledak di Kuta belum mampu untuk membangunkan untuk “Eling”. Ketika beberapa hotel dan perusahaan di Bali sudah keterlaluan untuk tidak menerima manusia Bali bekerja diperusahaannya, karena takut banyak libur upacara, kitapun masih terlena.

Pemerintah Bali masih sibuk dengan slogan pembodohan. Bali dengan pariwisata budaya, kota berbudaya dan yang terbaru adalah slogan “Ajeg Bali”. Tata ruang berhamburan, tata kota berserakan, arsitektur Bali semakin tak jelas, Tri Hita Karana Award membingungkan, belum lagi pembongkaran jalan yang membabi buta dengan alasan pembangunan yang mungkin saja dalam lima tahun lagi sudah tak terpakai . Satu pihak Pemerintah pusat menggulingkan “Penghematan” sementara di Bali kemacetan dimana-mana.

Karakter manusia Bali kalau seorang diri adalah “Polos dan Santun” tetapi kalau sudah beramai-ramai akan menjadi lain. Manusia Bali adalah “Penyabar” dan sangat “Toleran”

Tetapi ketika Bali di “Serbu” akankah kita biarkan tercabik-cabik hingga sepuluh tahun lagi sudah tidak ada sisa, karena kita ternyata masih terlena? (Kapten/2005)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar